Seorang Abang Abadi Bernama Mas Gagah

10947212_954146751263091_3015251713133035081_n

1992

“Gila! Saya belum pernah baca karya remaja seperti ini! Bukan saja membuat saya menangis, tapi Anda telah menggugah saya dengan nilai-nilai keislaman di dalamnya! Ini cerita yang luar biasa! Ditulis oleh anak muda pula!” wajah Pak Ismail Marahimin, Dosen Penulisan Populer itu, berseri.

Saya bengong.

Sejak tadi saya sudah berdebar-debar kenapa dosen yang selalu tampak serius dan dijuluki kawan-kawan “killer” itu memanggil saya ke ruangannya.  “Saya ingin bicara dengan Anda!” katanya. Padahal biasanya semua tulisan mahasiswa ia “bantai” di kelas dan dibagikan setelah diberi nilai berupa titik. Satu titik, dua titik, atau yang bagus serupa nilai A: tiga titik.

“Mas Gagah. Darimana ide cerita ini?” Dosen Jurusan Sastra Inggris itu memandang saya sambil menurunkan sedikit kacamata yang dipakainya. Di tangannya naskah sepanjang 12 halaman yang saya ketik dan saya kumpulkan pekan lalu untuk memenuhi tugas kuliah mingguan dari beliau.

“Itu kan tugas dari Bapak. Kami semua diminta menulis sebuah cerpen tentang abang adik, harus menarik tapi juga mengharukan, serta harus ada unsur kehilangan. Saya cuma menjalankan formula itu, Pak.”

Pak Marahimin membetulkan letak duduknya. “Tapi ini lain. Apa ini kisah yang Anda alami?” Ia mengambil pipa cangklong dan mulai menyalakannya. “Maaf saya tak bermaksud mewawancarai Anda. Tapi saya sangat terkesan.”

Saya menerawang. Ah, Gita. Bagaimana saya bisa melupakan wajah itu?

“Saya pernah bertemu seorang gadis berjilbab bermata sendu di sebuah masjid di Kemayoran, namanya Gita,” papar saya. “Saat saya tanya mengapa ia tampak sedih, ia bilang abangnya baru wafat.”

“Oh ya?” Pak Marahimin mendengarkan saya seksama. Tak sedikit pun saya temukan sinisme yang kerap menjadi gaya beliau di kelas.

“Tapi yang membuat ia bertambah pilu karena abangnya pergi tanpa sempat melihatnya berjilbab. Padahal abangnya sejak dulu ingin melihatnya mengenakan busana muslimah,” tambah saya.

Pak Marahimin manggut-manggut. “Jilbab hingga kini masih sering dilarang di sekolah dan berbagai instansi. Anda malah menuliskannya. Good. Kalau Anda sendiri bagaimana? Punya abang?”

Saya menarik napas panjang. “Saya sulung, Pak. Tapi saya sungguh rindu punya seorang abang….”

Terbayang saat saya menulis cerpen itu di kos saya, di Gang Realita, seberang halte UI. Saya katakan pada teman sekamar saya jelang kami tidur, “Odang, gue pengin punya abang!”

“Ya elah Vy, ntar juga lu dapat abang ketemu gede alias suami,” tawanya sambil menarik bantal yang saya pakai.

“Nggak mau, Dang! Gue pengin punya abang dan gue pengin itu sekarang!”

Dia bengong. “Ah, lo mah yang aneh-aneh aja,” ujar Odang berusaha memejamkan mata. “Emang gitu kali ya calon sastrawan. Harus rada miring!” gumamnya. “Tapi memang ukhti boleh sedikit miring gitu?”

Saya nyengir.

Jam sudah berdentang sekali. Pukul 1 dinihari.

Setengah melompat dari tempat tidur, saya duduk di depan meja dan mulai mengetik. “Sebentar lagi gue punya abang. Orangnya keren banget! Namanya…,” saya berpikir sesaat, “Gagah! Ya, Gagah Perwira Pratama!”

Saya lirik Odang, sudah tidur. Saya garuk-garuk kepala sendiri. Saya seret langkah saya ke kamar mandi. Kalau mau bikin tulisan bagus, saya harus wudhu dan sholat malam dulu.

Hanya dalam waktu satu jam setelah sholat malam, cerita itu selesai. Saya tak mengerti kenapa saya memasukkan sosok saya saat SMA (sebelum hijrah) dalam karakter Gita.  Gita Aya Pratiwi menyerap semua karakter dan energi saya. Gita adalah saya! Benar-benar saya saat kelas I SMA! Dan…saya juga bingung kenapa saya memberi judul: Ketika Mas Gagah Pergi? Lalu, kenapa sepertinya mesin tik itu mengetik sendiri? Hiiii….

“Baguuuuuss, Vy! Ini mah gue nggak bisa tidur lagi, yang ada nangis!” seru Odang. Ia yang pertama kali membaca kisah itu, akibat tak bisa tidur mendengar suara mesin tik saya.

“Anda harus terus menulis! Saya kira ini jalan Anda,” suara Pak Marahimin menghentikan lamunan saya. Suara itu terdengar mirip suara Pak Muhyidin, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia saya di SMAN 5 Jakarta, samar juga terdengar mirip suara Pak Kasmino, guru bidang yang sama di SMPN 78 serta Bu Winarti guru di SD Kartini II Jakarta.

“Saya beri Anda nilai istimewa, yang biasanya hanya saya beri untuk diri saya sendiri,” Pak Marahimin tertawa sambil menabuhkan empat titik di cerpen saya! Empat titik! Ya, Allah empat titik!?

Saya tercengang. Tercekat. Empat titik untuk kisah “Ketika Mas Gagah Pergi” dari novelis Dan Perang Pun Usai Itu!

1992, awal Pak Marahimin memperhatikan bakat menulis saya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya berhasil memperoleh nilai A untuk mata kuliah Penulisan Populer I (Cerpen) dan Penulisan Populer 2 (artikel). Saya pun tidak mengerti setiap kali bertemu saya di koridor FSUI, Pak Marahimin selalu saja mengacungkan dua jempolnya pada saya. Padahal saya yang dari Jurusan Sastra Arab sudah tak mengikuti kuliahnya. Sampai masa akhir saya kuliah di FSUI, sikap itu selalu ditunjukkannya.


1993

“Kita akan buat majalah seperti Anita Cemerlang, namun untuk kalangan remaja muslim, termasuk kalangan pesantren,” kata Mbak Dwi Septiawati pendiri Majalah Annida. “Dua minggu dari sekarang semua redaktur harus membuat cerpen remaja Islami ya untuk mengisi edisi perdana.”

Saya bekerja di Majalah Annida sejak 1991. Tahun 1993 manajemen dan konten majalah tersebut berubah. Annida pun menjelma majalah fiksi Islami untuk remaja.

“Sudah buat cerpennya, Vy?” Tanya mbak Septi.

“Saya punya, mbak. Ini. Cocok nggak?” Saya serahkan 12 halaman cerpen Ketika Mas Gagah Pergi, cerpen tugas menulis saya tempo hari dari Pak ismail Marahimin.

Bergantian teman-teman redaktur membaca. Afi, Haula, Inayati, Dian, Mbak Septi, hingga Bang Mabrur, salah satu pemimpin kami yang baru.

“Sediiiiiiih.”

“Baguuuuuusss!”

“Seruuuu!”

“Subhanallah!”

“Ya Allah, sampai nangis bacanya….”

Berbagai komentar positif saya terima.

“Oke kita jadikan “Ketika Mas Gagah Pergi” sebagai cerita utama untuk edisi perdana Majalah Annida sebagai majalah cerita,” kata Mbak Septi. ” Tapi ngomong-ngomong kebayang Gita-nya kok kayak Helvy?” Mbak Septi nyengir.

Saya garuk-garuk jilbab.

Tiba-tiba saya merasa Mas Gagah hidup. Mas Gagah ada dan entah mengapa saya ingin menangis.


Begitulah awal cerita KMGP tersebar. Ditulis tahun 1992 untuk memenuhi tugas kuliah Penulisan Populer I di FSUI lalu dimuat pertamakali di Majalah Annida tahun 1993 sebagai “Kisah Utama”.

Sejak saat itu saya merasa menjadi seorang penulis yang “dikenal”. Saya menerima puluhan pucuk surat setiap hari di kantor Annida dari mereka yang mengatakan betapa KMGP bisa mengubah sikap bahkan kehidupan mereka dan orang-orang di sekitar mereka! Tapi…benarkah?

“Saya tercerahkan!”

“Mbak Alhamdulillah saya sudah berubah menjadi Mas Gagah.”

“Alhamdulillah saya pakai jilbab dapat hidayah usai membaca KMGP. Terimakasih Mas Gagah!”

“Subhanallah sekarang abang saya juga berubah seperti Mas Gagah!”

“KMGP membuat saya ingin lebih mendalami Islam.”

“KMGP membuat saya sadar akan hakikat hidup dalam Islam….”

“Pengin punya suami kayak Mas Gagah….”

“Ini baru dakwah lewat tulisan buat remaja. Fun, tidak menggurui tapi dalam!”

Saya juga mulai menerima banyak undangan untuk mengisi berbagai acara terkait kepenulisan.

Saya mulai mengumpulkan cerpen-cerpen saya yang berserakan di berbagai media, khususnya yang dimuat di Annida. Ternyata saya justru tidak terlalu banyak menulis cerita remaja seperti KMGP. Saya lebih banyak menulis cerita epik tentang perjuangan kaum muslimin saat itu, bukan hanya di dalam, tetapi terutama di luar negeri seperti Palestina, Myanmar, Bosnia Herzegovina, Chechnya, Xin Jiang, Moro, Rwanda, dll.

1997

Saat  menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Annida, melalui Pustaka Annida, buku pertama saya terbit dengan mengambil KMGP sebagai judul buku. Tak diduga 10.000 eksemplar terjual habis dalam seminggu, sebelum KMGP dicetak sebagai buku!

Cover1kmgpPengarang senior, Pak Soekanto SA memberi pengantar. Menurut beliau KMGP “Jernih, memenuhi kriteria Horatius untuk karya sastra: dulce et utile, perpaduan harmonis dichtung und warhheit. Kriteria lain seperti keharusan meyakinkan, tidak ada kebetulan, terpenuhi. Secara menarik Helvy menyeret rasa ingin tahu pembaca yang menghayati pengalaman pengarang melalui karyanya secara nikmat, kagum akan kemampuan pengarang dalam memberikan, memadukan, memperjelas makna terhadap pengalaman yang diolah secara indah. Kualitas plus sebagai karya sastra yang mempunyai karakteristik dan nuansa Islam.”

Yang mengharukan Pak Marahimin berkenan pula memberi pengantar buku pertama tersebut.

“Saya sudah tuliskan pengantar untuk Anda. Ini buku yang sungguh bagus. Maksud saya semua cerpen dalam buku ini!” kata beliau saat memberikan lembar pengantar di ruangannya. “Oh ya, sepulang dari haji, saya bawakan Anda oleh-oleh dari Mekkah,” beliau menyodorkan sebuah tasbih indah pada saya. “Itu bukan plastik, tapi salah satu yang terbaik!”

Haru, saya ucapkan terimakasih sambil menerima pemberiannya.

Pak Marahimin mengangguk-angguk, “Anda harus terus menulis!”

Keluar dari ruangan, saya langsung membaca pengantar dari beliau, sambil berjalan menyelusuri koridor kampus. Tiba-tiba mata saya basah, dan saya tak akan pernah lupa apa yang ditulis dosen saya itu pada pengantar buku KMGP cetakan pertama, 1997:

ismailKumpulan cerita pendek yang sedang anda pegang ini adalah hasil karya seorang “penulis wanita Indonesia pejuang Islami.” “Penulis” adalah barang langka di Indonesia, “penulis wanita” lebih langka lagi dan yang bisa disebut sebagai “pejuang Islami” agaknya adalah sangat-sangat langka.

Seorang pejabat pernah menyamakan birokrasi pemerintahan dengan sarang laba-laba. Artinya, jika ada satu benang sarang itu yang digoyang, maka goyangan itu akan dirasakan juga oleh seluruh jaringan benang yang membentuk sarang tadi. Seharusnya analogi ini sangat tepat pula jika dikatakan untuk dunia Islam secara keseluruhan. Ukhuwah Islamiyah menuntut hal yang sama dari setiap Muslim. Begitu ada yang namanya Islam, orangnya, ajarannya atau apanyalah yang digoyang, di mana pun di dunia ini, seharusnya setiap orang yang mengaku Muslim “merasakan” goyangan itu.

Sampai tahap “merasakan” saja agaknya hampir 100% Muslim dan Muslimat akan membenarkan atau mengakuinya. Namun seorang “pejuang Islami” tidak cukup hanya dengan merasakan saja, dia juga bereaksi. Dan Helvy Tiana Rosa bereaksi! Setiap pejuang Islami akan bereaksi dengan cara dan kemampuan masing-masing. Seorang hartawan pejuang Islami akan bereaksi dengan hartanya. Seorang ilmuwan pejuang Islami akan bereaksi dengan ilmunya dan seorang penulis pejuang Islami tentunya akan bereaksi dengan tulisannya.

Dalam kumpulan cerita pendek Helvy Tiana Rosa ini kita lihat bagaimana dia bereaksi terhadap goyangan-goyangan yang dialami oleh Islam di bagian mana pun di dunia ini. Di Bosnia, di Chechnya, Palestina, Rwanda dan sebagainya. Ini di samping sebuah cerita pendek yang terasa sangat pribadi sifatnya, yaitu cerita yang menjadi judul kumpulan cerpen ini: “Ketika Mas Gagah Pergi,” yang walau pun sangat pribadi, garis merah keislamannya sangat terasa.

Imajinasi dan kreativitas penulis ini sangat luar biasa. Dia berhasil menciptakan latar cerita yang begitu tajam dan meyakinkan, sehingga kita sebagai pembaca terkesan seolah-olah penulisnya pernah berada di Bosnia, Palestina, Chechnya, Rwanda dan tempat-tempat lain yang dipakai sebagai latar cerita. Ini jelas di samping membutuhkan imajinasi dan kreativitas yang tinggi, juga penelitian yang tidak tanggung-tanggung.

Hasilnya adalah cerita-cerita yang bagus dan enak dibaca. Namun di atas semua itu, ada satu hal yang sangat menonjol seperti yang disebutkan di atas. Itulah garis merah keislaman yang tebal, yang nyata, yang tidak kita jumpai pada banyak penulis muslim lainnya, baik pria mau pun wanita. Membaca kumpulan ini insya Allah, akan membuat kita lebih dari sekedar “merasa” ada goyangan terhadap Islam di sudut lain dunia ini. Amien.

Jakarta, Ba’dal Hajj 1417 H

Ismail Marahimin


2015

Begitulah buku KMGP sampai ke tangan Anda. Tahun 1997 Penerbit Pustaka Annida dua atau tiga kali cetak ulang, lalu tahun 2000 Penerbit Syaamil Cipta Media mencetak KMGP  27 kali, setelahnya Penerbit Asma Nadia Publishing House menerbitkan kembali edisi novellet dengan judul yang sama, sepuluh kali cetak ulang, sampai edisi 2015..

Hingga kini, hampir 23 tahun usia ceritanya, telah 39 kali cetak ulang, gema KMGP masih terasa.

“Saya termotivasi menulis karya bernuansa Islam gara-gara baca buku KMGP,” tutur Asma Nadia, adik saya.

“Harusnya buku KMGP ini dibeli oleh Depdikbud dan disebarkan ke sekolah-sekolah, pesantren dan kampus untuk turut membangun karakter pemuda Islam Indonesia,” tambah Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat-Ayat Cinta.

“Penelitian saya tahun 1990-2000an terhadap aktivis dakwah kampus di Indonesia, ternyata banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa mereka membaca dan dapat hidayah melalui buku ini,” tutur Yo Nonaka, seorang sosiolog dari Jepang.

“Menurut saya KMGP merupakan karya avant garde, yaitu karya pembuka, bagi fiksi Islami kontemporer di Indonesia,” kata M. Irfan Hidayatullah, Dosen Sastra UNPAD.

“Tokoh Gagah akan menjadi legenda,” ujar Gola Gong suatu ketika. Penulis favorit saya itu bahkan mengatakan ia terinspirasi menulis kisah bernuansa Islam dari Mas Gagah.

Setelah KMGP, karya-karya saya yang lain terus muncul dan mendapat apresiasi yang baik. Saya mengumpulkan para pembaca KMGP, mereka yang ingin jadi penulis dan bersama membentuk Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi nirlaba yang membantu dan membimbing siapa saja yang ingin menjadi penulis.

Pak Marahimin beberapa kali sms, bila saya muncul di koran atau televisi. “Kata Koran Republika pagi ini: Helvy Tiana Rosa, pelopor fiksi Islami kontemporer.”  atau “Dan ini kata Koran Tempo: Helvy Tiana Rosa Lokomotif Penulis Muda”, sms beliau. Biasanya saya langsung mencari koran yang ia sebutkan. Kadang saya yang mengirim sms pada beliau. “Pak, ini dari The Straits Times:  Helvy Tiana Rosa is a pioneer of contemporery Islamic fiction in Indonesia. Alhamdulillah. Terimakasih bimbingan Bapak selama ini!”

Saya  pun mendapat sekitar 30 penghargaan nasional, diantaranya sebagai penulis pertama yang dianugerahi “Tokoh Perbukuan Islam IBF Award” dari IKAPI (2006), Penghargaan Tokoh Sastra Indonesia dari Balai Pustaka dan Majalah Sastra Horison (2013), dan lain-lain. Terakhir 7 tahun berturut-turut terpilih sebagai 1 dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan.

Banyak yang telah terjadi dari sebuah langkah awal yang saya torehkan lewat tugas menulis cerpen, mata kuliah “Penpop” yang diampu Pak Marahimin. Maka ketika dosen tercinta itu kembali pada Allah, 26 Desember 2008,  kedukaan begitu mencabik-cabik. “Bapak banyak cerita tentang Anda. Anda tahu, ia sangat bangga pada Anda,” ujar istri Pak Marahimin dengan mata kaca, saat kami bertemu.

Perlu waktu cukup lama bagi saya untuk berdamai dengan kepedihan, membayangkan pertemuan-pertemuan di kelas Pak Marahimin yang begitu berarti bagi perkembangan saya sebagai penulis. Sesungguhnya bukan hanya saya, tapi sangat banyak mahasiswa yang kemudian menjadi penulis terkemuka, lahir dari kelas beliau….

Dan Mas Gagah? Apakah ia juga pergi?

Ya, Mas Gagah terus menerus pergi kesana kemari, menghampiri para pemuda dan berbagai lapisan masyarakat. Dengan keutamaan ahlaknya, ia mengajak mereka pada Allah dan RasulNya, pada kebaikan semata. “Islam itu indah, Islam itu cinta,” ujarnya selalu.

“Islam itu gagah,” tambah saya. “Mas jangan pernah pergi….”

Dan memang akhirnya Mas Gagah tak pernah benar-benar pergi. Ya, setiap saat ia selalu kembali, kemudian masuk ke kamar, membelai kepala saya yang kerap tegak di depan komputer, terkadang sembari memijat bahu ini.

“Nulis apalagi, Dik? Sastra atau penelitian? Sini, mas bantu carikan referensi. Eh, kamu jangan sampai sakit lho. Jaga kesehatan. Oh ya, ingat, kamu harus terus menulis sebab itu bagian jalanmu, Dik! Jihadmu!”

Nah kalau sudah begitu saya tahu, bahwa sejatinya, seperti yang lain, saya juga punya abang! Seorang abang abadi yang telah membawa banyak orang menjemput hidayah.

Saya tatap Mas Gagah yang sedang tersenyum, lekat-lekat. Ia terasa lebih dari nyata bagi seorang sulung seperti saya.

Setetes airmata saya jatuh. Lalu sayup terdengar suara suami saya, “Begadang lagi malam ini, Say?”


Depok, 16 Maret 2015.

(Helvy Tiana Rosa)

10610867_954146704596429_1488382606872394671_n

17 Comments

Filed under Cerpen, Jurnal, Karya, Lainlain, Sketsa

17 responses to “Seorang Abang Abadi Bernama Mas Gagah

  1. eyla

    KMGP….salah satu hal yg membuat sy berhijab. Selain hidayah dr Allah SWT tentunya. Duluuu….pertama kali baca bukunya…nangis bombay dibuatnya. eeehh….sekarang baca lagi…nangis lagi. Padahal udah hapal ceritanya… Mba Helvy emang keren deh…

  2. Dewo

    Menarik sekali membaca proses kreatif dibalik penulisan KGMP.
    Saya membaca KGMP tahun 1997 ketika terbit lanjutannya di Annida, tapi tak pernah lupa dengan cerita itu. Tidak menyangka juga bahwa benar ada sosok Gita yang mengawali kisah ini.
    KGMP is really EPIC!

  3. terharu ih 😥

    banyak banget pelajaran di tulisan ini.. tentang pentingnya para guru mengenali dan mengapresiasi bakat murid2nya.. tentang merintis jalan dan terus berkarya sesuai kemampuan/bakat yang Allah kasih.. tentang terus melebarkan lingkaran kebaikan.. huhuu.. barakallahu fiik mbak helvy, smg makin giat menebar manfaat dan pembuatan film KGMPnya lancar jaya.

  4. Reblogged this on heningbanget and commented:
    terharu ih 😥

    banyak banget pelajaran di tulisan ini.. tentang pentingnya para guru mengenali dan mengapresiasi bakat murid2nya.. tentang merintis jalan dan terus berkarya sesuai kemampuan/bakat yang Allah kasih.. tentang terus melebarkan lingkaran kebaikan.. huhuu.. barakallahu fiik mbak helvy, smg makin giat menebar manfaat dan pembuatan film KGMPnya lancar jaya.

  5. Reblogged this on Sebuah renungan hidup seorang hamba and commented:
    Kisah sejarah seorang penulis yang luar biasa. Dan dia memulainya dari sholat malam. Itu salah satu poin yang mungkin tidak semua penulis memilikinya. Dan itu yang mungkin tidak terlalu diangkat, tapi itu yang saya ingat. Bagaimana Allah memberikan keberkahan bagi orang yang mendatangiNya sebelum mendatangi apapun.
    Saya jadi penasaran juga dengan sosok mas gagah ini. Dimanakah saya bisa mencari? Kalo ada yang tau bisa kasih referensi di komentar? Terima kasih… 🙂

  6. Ma Sya Allah. Ada poin-poin penting dan hikmah yang bisa diambil dari kisah ini.

  7. Wow, seperti berkelana ke setiap waktu hingga pada akhir perjalanan, membuatku ingin menuliskan untaian kalimat di kolom komentar.
    Tante Helvy, keren banget proses kreatif apalagi buku KMGP. Walaupun masih kelas 6 SD, aku suka baca KMGP, menginspirasi…
    Awalnya Pak Hendro, guru Tahfidz Tilawah Qur’an di sekolahku ngobrol tentang bukuku. Aku bilang baru 5 buku, novel dan antologi. Kemudian Pak Hendro cerita tentang KMGP serta testimoni pembacanya. Mulai dari situ aku ingin menulis cerita islami. Dari situ, aku beli KMGP.
    Tante Helvy, aku tunggu KMGPnya. Keren! Salam untuk Kak Faiz, keren buku kkpknya. Buku solo pertamaku terinspirasi dari buku kak Faiz.

  8. Saya baru baca kemarin di fb ada seorang teman yang share notes dengan tag #KetikaMasGagahPergi, saya baca… “Yaa Allah.. seakan2 terbius oleh cerita, pengen jadi mas gagah, pengen jadi gita yang punya abang segagah mas gagah”

    Terima kasih Bunda Helvy KMGP itu menggugah pembaca, sesuatu yg dikemas dengan hati akan sampai ke hati.

  9. Saya punya seorang mas. Saya harap, mas saya pun bisa seperti Mas Gagah. Semoga ia segera mendapat hidayah dan menjadi bagian dari kaum muslim yang dicintai Allah 🙂

  10. Nur

    Bunda Helvii, pertama kenal cerpen bunda itu ketika saya masih SD. Dan sampai sekarang saya selalu merasa terbius dan masuk ke dalam pusaran cerita yang Bunda tulis.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s