Setiap kali bangun tidur di pagi hari, gadis itu akan selalu menemukan seorang pria mengasah belati di ujung tempat tidurnya. Pria yang sama, dengan gerakan yang sama. Mata mereka akan saling menatap sesaat, lalu pria itu akan meneruskan mengasah belatinya, tanpa berkata sepatah kata pun. Ia muncul begitu saja, dan seperti biasa, lelaki itu akan pergi tiba-tiba juga, entah keluar lewat pintu atau jendela yang mana.
Continue readingCategory Archives: Cerpen
Signet Ring Cell
(Silfy Amelia Achtar, Finalis Lomba Menulis Pengalaman ‘Aku dan Kisah Ketika Mas Gagah Pergi’)
Rabu, 13 Juni 2012
Masih hangat.
Harumnya sedikit tertinggal.
Paras cerah dengan senyum hening.
Ya, itu air mata. Menitik di sudut matanya.
…
Selamat tinggal, Mas Gagahku.
Semi
“Hidup kamu tuh benar-benar seperti fairy tale ya, Mel.” Siang itu Miss Suci memulai percakapan dengan kalimat yang mau tidak mau membuatku memalingkan pandanganku dari monitor laptopku. Kami berdua harus mengumpulkan naskah soal Ujian Semester Ganjil sebelum pukul empat sore.
“Fairy tale bagaimana maksudnya, Miss?” tanyaku dengan dahi mengernyit.
klik selanjutnya
Ketika Kang Ilham Datang
(Irfan Fauzi, Finalis Lomba Menulis Pengalaman ‘Aku dan Kisah Ketika Mas Gagah Pergi’)
Mas, ada kajian ilmu aqidah, ustadznya lumayan bagus. Malem ini habis isya. Ikut ya.
Sore jam tiga lebih kubuka SMS. Teman baruku penjual minyak wangi. Aku abaikan pesan itu. Ah malas, lagi pula nanti malam ada acara bakar-bakaran ikan. Lebih asyik, lebih seru. Aku membatin.
Hidupku biasa saja. Mirip kebanyakan orang. Bergaul, ngobrol, jalan-jalan. Kadang juga ikut pengajian, cuma buat variasi kegiatan saja sebenarnya. Namun hari-hari ini mengaji sedikit menyedot perhatian. Awalnya, aku hanya ikut ngaji di mushala, atau kalau ada hari besar Islam. Itu juga sambil nyambi pasang tampang, barangkali ada cewek ngelirik.
“Kalau ngaji ya baiknya rutin, Mas. Biar ilmunya tetep keinget,” kata teman baruku itu, namanya Ilham, aku manggilnya Kang Ilham karena ia lebih dewasa dua tahun dariku, usianya 24 tahun.
“Ya sih, Kang, tapi males. Paling-paling ngebahas, sholat, wudhu, puasa. Itu mah aku udah hafal.” kataku agak santai, sekedar jawab.
Dengan Ceritamu, Terbukalah Hidayah Bagi Orang yang Kucintai
( Oleh: Ratna Kushardjanti, Finalis Lomba Menulis Pengalaman “Aku dan Kisah Ketika Mas Gagah Pergi”)
Perkenalkan saya, Helvy (maaf, saya lebih suka memanggilmu dengan nama ini dan bukan nama panggilanmu yang kubaca di profilmu). Panggil saya, Ratna. Saya sudah mengenalmu sejak lebih dari dua dekade lalu. Sejak cerpen-cerpenmu sering saya baca di Majalah Annida, salah satu majalah Islam yang dengan semangat ikut saya pasarkan kepada teman-teman di kampus maupun adik-adik SMP dan SMA binaanku. Namun tentu saja engkau tak merasa mengenalku. Tetapi, aku bersama ratusan bahkan mungkin ribuan penggemarmu selalu punya alasan untuk merasa dekat denganmu.
Seorang Abang Abadi Bernama Mas Gagah
1992
“Gila! Saya belum pernah baca karya remaja seperti ini! Bukan saja membuat saya menangis, tapi Anda telah menggugah saya dengan nilai-nilai keislaman di dalamnya! Ini cerita yang luar biasa! Ditulis oleh anak muda pula!” wajah Pak Ismail Marahimin, Dosen Penulisan Populer itu, berseri.
Saya bengong.
Sejak tadi saya sudah berdebar-debar kenapa dosen yang selalu tampak serius dan dijuluki kawan-kawan “killer” itu memanggil saya ke ruangannya. “Saya ingin bicara dengan Anda!” katanya. Padahal biasanya semua tulisan mahasiswa ia “bantai” di kelas dan dibagikan setelah diberi nilai berupa titik. Satu titik, dua titik, atau yang bagus serupa nilai A: tiga titik.
“Mas Gagah. Darimana ide cerita ini?” Dosen Jurusan Sastra Inggris itu memandang saya sambil menurunkan sedikit kacamata yang dipakainya. Di tangannya naskah sepanjang 12 halaman yang saya ketik dan saya kumpulkan pekan lalu untuk memenuhi tugas kuliah mingguan dari beliau.