JAE

REVISI_KMGPSupport2

Lelaki muda kurus itu berusia sekitar 22 tahun. Mungkin bagi kita ia bukan siapa siapa. Ia datang dari sebuah desa di Brebes. Suatu masa ia pernah membaca buku saya Ketika Mas Gagah Pergi. Entah mengapa ia merasa tokoh Mas Gagah itu mengikutinya terus. Pertama sebagai bayangan, lalu sebagai mimpi yang tak sudi berhenti, bahkan tiba-tiba muncul sebagai tunas dan tumbuh dalam dirinya. Ya, Mas Gagah tak pernah mau pergi dari benak, terus menancap sampai ke batinnya.

Lelaki itu merasa memiliki semacam pertalian dengan semua yang berhubungan dengan sang tokoh, bahkan nama saya sebagai penulis terang benderang dalam memorinya, menjelma seorang ibu. Lambat laun lelaki muda itu merasa mungkin ia memang harus menjadi Mas Gagah dan turut memberi nyala bagi orang-orang di sekitar. Mungkin ia juga harus menulis cahaya sebagaimana apa yang menurutnya saya lakukan lebih dari dua dasawarsa ini.

Spirit Mas Gagah? Itu jenis spirit yang tak mau diam. Tak kenal kompromi. Setiap saat melonjak-lonjak, melompat lompat, membuatnya tak bisa diam sejenak saat berhadap-hadapan dengan kebaikan. Ia harus bergerak! Terus bergerak di jalan kebajikan, berderap di jalan kepedulian! Jalan yang tak pernah landai melainkan terus mendaki bahkan penuh duri. Seperti Mas Gagah, ia pun mencoba memberi meski saya pikir posisinya lebih pantas sebagai orang yang seharusnya diberi.

Lelaki muda kurus itu sepertinya memang bukan siapa siapa. Lulus SMK, ia putuskan merantau ke Jakarta, mencari kerja untuk membantu orangtua menyekolahkan adiknya yang kini SMA. Ia sempat cukup lama menganggur dan berulangkali berkelahi dengan dirinya sendiri. Ia kerap bertempur sekaligus mengakrabi kemiskinan. Lelaki muda itu mencoba bekerja sebagai apa saja, menenteng-nenteng ijazahnya kemana pergi. Tetapi jawabaan yang ia dapat hanya puluhan gelengan kepala.

Bagaimana kalau kau turut berjualan gado-gado?

Bagaimana bila kau jadi kernet mobil angkutan?

Bagaimana bila kau menjadi seorang marbot?

Tawaran-tawaran itu ia lakoni dan kemudian menjadi jejak pengembaraannya.

Ah, lelaki muda kurus itu mungkin memang bukan siapa-siapa, tetapi ia tak pernah berhenti bersyukur. Ia tahu ia tak berpunya menurut ukuran banyak orang. Ia sadar bahwa ia hanya seseorang yang tidur di dalam masjid. Tapi bukankah Mas Gagah juga selalu membawa masjid dalam dirinya? Pikir lelaki itu. Ketika ia tahu bahwa kisah yang telah menjadi inspirasi kehidupannya tersebut akan difilmkan dengan jalan tak biasa, entah mengapa ia tergerak.

Suatu pagi ia muncul di muka pintu rumah saya, dengan wajah tanpa pretensi.

“Kisah Mas Gagah telah membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik, telah banyak menuntun saya. Kisah ini juga membuat saya ingin jadi penulis! Kisah inspiratif ini harus jadi film. Tolong catat saya sebagai pendukung sejatinya, Bunda!”

Lelaki muda kurus yang selalu bertasbih dan bertahmid dalam tiap keadaan itu bagi Anda mungkin memang bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang marbot yang diperbantukan sebagai pengurus administrasi yayasan sebuah masjid. Ia pernah membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi dan ingin sosok serta spirit Mas Gagah tidak berhenti pada fiksi. Spirit itu harus ditumbuhkan di buku-buku lain, di dalam diri, di berbagai ruang kehidupan, di berbagai jalan dan zaman yang ia lintasi atau tak akan sempat ia jelajahi, hingga pada berbagai situasi kritis yang dihadapi para pemuda di negeri ini.

“Saya ingin menjadi relawan untuk film Ketika Mas Gagah Pergi. Saya tak punya uang, tetapi punya tenaga. Insha Allah saya pembelajar cepat,” tuturnya lirih. Tetiba ia merasa sudah mengenal saya dengan sangat akrab. “Saya mengikuti perjalanan Bunda,” tambahnya tersenyum. Lalu Cileungsi, Depok, Rawamangun tak lagi dihitungnya sebagai jarak meski kadang ia harus berjalan kaki kesana kemari.

Lelaki muda kurus yang sekilas terlihat ringkih itu mungkin memang bukan siapa-siapa bagi Anda. Tapi bagi saya, bagi Mas Gagah, ia adalah sahabat sejati yang melintasi semua ruang ada dan tiada, menghantam semua sekat antara fiksi dan realitas. Ia membuat saya melihat dengan nyata sesuatu paling tak berwujud yang saya sebut ikhlas. Lewat kerja-kerja tak sederhana, lewat binar dimatanya, lewat kekuatan tekad yang paling entah.

“Saya akan selalu ada di sini Bunda. Sampai Mas Gagah hadir di layar lebar dan dimana-mana, sampai selamanya….”

 

(Helvy Tiana Rosa, 7 April 2015)


Mari wujudkan film Ketika Mas Gagah Pergi SESUAI SPIRIT BUKUNYA! Caranya? Ikut crowdfunding/ “Patungan Bikin Film” Ketika Mas Gagah Pergi bersama para Sahabat Mas Gagah (@sahabatmasgagah). Kamu bisa urunan semampu kamu. Catat rekeningnya!  BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena. Konfirmasi sms 08121056956. Info: www.masgagah.com atau www.sastrahelvy.com

“Ini film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, kita dan dunia yang nonton!”

 

 

Leave a comment

Filed under Cerpen, Jurnal, Kabar, Karya, Lainlain, Sketsa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s