Cahaya dari Kaki Gunung Gamalama sampai ke Tanah Viking Norwegia Untuk Sang Gadis Pengungsi (Juara III Lomba Menulis Pengalaman ‘Aku & Kisah KMGP’)

 (Raidah Athirah)

Screen Shot 2014-09-21 at 7.07.28 AM

Tujuh belas tahun silam, aku dan keluarga memutuskan untuk mengungsi ke tanah Maluku Kie Raha, Ternate meninggalkan tanah lahir Pela dan Gandong yang kala itu berada dalam kecamuk duka dan airmata akibat konflik SARA .

Perih membuka ingatan akan tragedi kemanusian yang memilukan.Terlampau perih, hingga seluruh tubuh terasa bergetar. Aku seperti berjalan ke masa lalu melihat darah dan tubuh-tubuh yang berserakan. Bunyi dentuman , gedung-gedung yang terbakar dan teriakan ketakutan terkadang muncul dalam ingatan. Hidup terisolasi dalam asrama 733 Ambon memunculkan putus asa, sampai kapan?

Saat itu aku telah memasuki masa remaja, berseragam putih biru. Konflik yang berkecamuk telah melahirkan ribuan anak putus sekolah. Aku berada dalam deretan angka itu. Kegilaanku pada pendidikan hampir membuatku tak waras. Tingkahku yang selalu duduk termenung dan bertanya kapan aku bisa kembali sekolah. Atas inisiatif almarhum Bapak, kami akhirnya menumpang kapal ke Ternate ketika masa konflik mulai mereda.

Bila ada pilihan tentu betapa menyenangkan hidup di tanah sendiri. Betapa perang banyak menyisakan duka terutama bagi anak-anak.Meskipun demikian, terbesit di hati sebuah harapan bahwa kehidupan di tempat baru akan memberikan jalan bagi masa depan yang lebih baik.Maha Besar Allah! Bukankah hari ini semua terjawab?

Setelah melintas masa atas karunia Allah Yang Maha Membimbing, Buku Ketika Mas Gagah Pergi menjadi inspirasi untuk perubahan hidup yang luar biasa. Siapa menyangka mimpi dan ungkapan rasa terimah kasih yang kutuangkan dalam kertas-kertas usang untuk seorang Helvy Tiana Rosa bersua dalam jarak namun dekat dalam hati.

Dari Ternate sampai ke Bandung kemudian menjejak di tanah Sang Paulus ingatanku masihlah sama, Ketika Mas Gagah Pergi adalah buku bersejarah untuk seorang anak pengungsi yang kini menjejak di tanah Viking, Norwegia mengikuti jalan takdir bersuamikan seorang mualaf Polandia, Abdullah Pisarzewski.

Bagiku , Ternate adalah kota cahaya yang mengantarkanku mengenal satu-satunya buku paling inspiratif karya Helvy Tiana Rosa.Buku ini terikat kuat dalam sejarah perjalanan hidupku dari sebuah rumah pengungsi sampai di negeri Viking, Norwegia.Buku ini memberi kisah inspirasi dan harapan bagi seorang anak pengungsi di tengah arus hidup yang kian keras. Buku ini adalah Ketika Mas Gagah Pergi.Rumah pengungsi yang berada di Ake Huda dekat kaki gunung Gamalama menjadi saksi tentang sebuah buku yang dibeli dengan keringat harapan, buku Ketika Ma Gagah Pergi.

Mari kuuraikan tentang langkah seorang gadis pengungsi yang membawa pulang buku ini dengan penuh semangat.Gadis itu adalah aku dalam rupa tujuh belas tahun yang lalu. Buku yang dibeli dengan harga kesungguhan dan disimpan dalam ingatan. Buku yang menginspirasi jejak awal yang kukenal sebagai sebuah cahaya. Cahaya yang menjadi titik hidayah untuk sebuah langkah yang menjadi kepingan-kepingan takdir yang satu persatu terbingkai utuh.Siapa bilang buku hanya berharga nominal?


Aku melangkah keluar dari dalam rumah pengungsi bersama ibuku.Matahari begitu terang menyengat. Kaki kami seirama melangkah menjemput rezeki di pasar Gamalama. Ibuku membuat kue yang dibungkus dengan daun pisang. Orang-orang menyebutnya naga sari.Kami menjualnya di pasar Gamalama tepatnya di emperan toko baju.

Orang bilang hidup terkadang tak ada pilihan.Tapi bagiku hidup haruslah memilih. Aku memilih belajar dan melawan putus asa.Hidup di pengungsian bukanlah sebuah pilihan melainkan keikhlasan untuk berjuang.Bukankah kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok?

Itu hari yang bersejarah.Hari yang Allah karuniakan untuk mengenal buku Ketika Mas Gagah Pergi. Belum sampai untukku pemahaman hendak berjilbab. Layaknya gadis -gadis remaja yang belum punya pengetahuan tentang perintah hijab, kepalaku masih menampakan rambut hitam tanpa jilbab.

Saat melewati sebuh gang kecil tempat kios itu berada, mataku terpaku pada Buku Ketika Mas Gagah Pergi yang berjejer bersama buku-buku lainnya. Entah mengapa ada sebuah dorongan kuat ingin memiliki buku itu.Aku menyimpan niatan bahwa kalau ibuku selesai berjualan, mungkin aku bisa singgah dan menanyakan harga buku itu.

Segala puji bagi Allah, hari itu seorang wanita yang asli Ambon memborong semua kue yang kami jajakan. Kami adalah pendatang di Ternate, ditambah status kami sebagai pengungsi tak mudah memulai hidup di kota ini.

Sudah hampir seminggu kami menjajakan kue di emparan toko. Kadang ada yang berbaik hati mengizinkan bagian depan toko untuk membiarkan kami duduk menggelar dagangan kue. Ada pula yang tidak berkenan sehingga kami harus berpindah dan mencari emparan yang lain.Aku menceritakan pengantar ini karena beginilah peristiwa yang menginspirasiku pada jejak-jejak di masa depan.

Dari buku Ketika Mas Gagah Pergi aku mulai paham tentang hukum berjabat tangan dengan lawan jenis. Hal yang paling membawa pengaruh besar untukku adalah berjilbab dan tidak pacaran. Padahal itu adalah masa dimana remaja seumuranku mulai berkenalan dengan lawan jenis.

Segala puji bagi Allah! Ingatanku belumlah rapuh untuk mengingat langkahku setiap melewati kios kecil tempat dimana buku itu dipajang. Aku selalu terdorong untuk segera membeli walau masih tak tahu berapa harga buku itu.Dan hari itu pun tiba.Aku masih mengingat jelas logo Syamil di sudut kanan atas sampul buku disertai gambargadis anggun berjilbab dan sosok gagah berupa bayangan.

Setelah kue jualan ibuku habis diborong wanita yang juga kenalan sesama orang Ambon,kami mulai bergegas pulang.Siang berjalan sangat cepat seperti sebuah adegan kehidupan yang dipercepatkan. Di depan kios, aku menatap penuh semangat pada buku bersampul menawan itu.Sempurna.Pandangan gadis berjilbab teduh.Aku akan memilikinya.

Aku belum mengenal sosok penulis buku ini,Ketika Mas Gagah Pergi. Ini pertama kalinya aku mengeja nama yang dicetak dengan tinta merah; Helvy Tiana Rosa. Kelak, kisah dalam buku ini menyatu dalam darahku sebagai sang anak pengungsi layaknya merah darah yang mengalir menginspirasi.

Dari sela-sela gang   butut itu, ibuku dari kejauhan melambai tangan, memberi isyarat untuk menunggu beliau di pagar masjid yang jalannya bermuara tepat di depan masjid tua.Al Munawarah, yang merupakan masjid raya yang berdiri kokoh hari ini di kota Ternate masih berupa timbunan pasir yang sedang dipersiapkan untuk dibangun. Maha Suci Allah! Betapa masa berlalu begitu cepat.Sebelum aku meninggalkan beliau, kuutarakan maksudku bahwa aku akan melihat majalah-majalah bekas yang bisa kubeli dengan uang seadanya yang kupunya.

Mama, beta pigi ka kiost itu dolo e!”

(Mama, aku mau ke kios itu!)

Jang balanja uang itu samua par buku! Simpan par bali pena deng buku tulis dolo.”

(Jangan habiskan semua uangmu untuk membeli buku , simpan untuk membeli pena dan buku tulis terlebih dahulu)

Ibuku tahu bahwa aku sudah seperti orang kesurupan kalau melihat buku itu. Ah! Siapa paham rasa yang kupunya ketika sepenuh hati aku ingin membeli buku itu. Dan waktunya telah tiba.

Om , buku ini harga barapa?” Sambil menunjuk ke arah buku Ketika Mas Gagah Pergi.

Oh, buku ini! Kalo ngana beli buku ini harga pas, kalo majalah Annida bakas harga lebih murah.” (Oh , buku ini! Kalau kau mau beli buku ini harga yang tertera sudah harga yang tidak bisa ditawar, kalau majalah Annida bekas harganya lebih murah )

Mungkin karena mataku melirik ke arah majalah Annida, jadi pemilik kios itu menawarkan pula majalah inspirasif itu.Aku sudah lupa berapa harga buku itu, hanya saja aku masih mengingat langkah kaki penuh semangat setelah berhasil melakukan transaksi jual beli kelas anak pengungsi. Uang itu begitu berharga.

Aku bersama ibuku melangkah menyusuri jalan-jalan setapak menuju rumah pengungsi di Ake Huda Ternate.Siang yang menyengat tak lagi kuhiraukan. Kuburan-kuburan Cina menyimpan jejak anak pengungsi yang menggenggam harapan. Aku menatap ibuku penuh haru, berharap bahwa keringatnya tak akan sia-sia.

Buku yang kubeli ini bukan sekedar buku hiburan. Buku ini yang menjadi jalan hidayah. Buku ini yang atas bimbingan Allah, menginspirasi setiap langkah ringkih anak pengungsi yang selalu berteman dengan cibiran. Ingatanku tentang hari pertama berjilbab selalu kukenang.  Sesampai di rumah pengungsi, yang atapnya memperlihatkan lobang langit, yang pintunya terpisah dari dinding, yang lantainya beralas tanah, aku duduk membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi dengan semangat yang luar biasa.  Ada isi tulisan yang tertanam kuat dalam ingatan.Sebuah dialog antara Gita dan Abangnya,Mas Gagah;

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku.“Nih, baca, Dik!”

Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”

Ini pertama kali aku belajar tentang Hadist, tidak mengikuti budaya berjabat tangan yang sudah biasa dalam tata pergaulan orang Maluku.

Dan cahaya ini datang ketika aku sampai pada tulisan ;

Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya.

“Mengapa saya mengenakan jilbab? Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah.Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika.”

“Wuuuuiiiiih,” hadirin berdecak kagum.

Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Dengan berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”, atau memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a. Jadi selain merasa aman, bonusnya adalah mendapatkan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan pakaian yang ‘you can see everything’.

Dengan segala keterbatasan di rumah pengungsi aku berani memakai mukena putih milik adikku yang kekecilan untuk berangkat ke sekolah. Hidayah itu datang dari untaian aksara seorang Helvy Tiana Rosa melalui buku Ketika Mas Gagah pergi.

Di hari pertama aku memakainya ada rasa haru yang luar biasa.Banyak yang menertawakan. Ada juga yang menyapa “Bu Haji”.  Beberapa pemuda yang sering duduk di jalan setapak yang aku lewati sepulang sekolah terkadang membuat lelucon.   ” Ampong! Hamadan! Ustadzah e pe jilbab saja, kira me taplak meja!”(Ampun! Wow! Ustadzah jilbabnya, kirain taplak meja!)

Sehari-hari di rumah pengungsi aku menutup kepala seadanya dengan terus berdoa semoga Allah memudahkan langkahku berhijrah .Ibuku bahkan menjahit sebuah kain hitam yang layak untuk aku gunakan sebagai jilbab. Menolak dengan santun saat seorang pemuda hendak mengajak menjadi pacar, aku yakin bahwa doa yang kupinta semoga Allah mengarunuiakan seseorang yang gagah yang akan datang meminangku dengan terhormat. Aku sungguh mengucapnya berulang kali. Yakinku tak memudar.

Buku ini yang menginspirasi.  Buku ini yang melahirkan mimpi bahwa kelak Allah akan mempertemukanku dengan seorang yang gagah. Yang gagah dalam agamanya, yang gagah dalam langkahnya, yang gagah meminangku, yang gagah dalam keyakinan.

Di bawah kaki gunung Gamalama dengan rumah pengungsi tanpa pintu ,aku berhijrah.  Sebuah hijrah dari rasa putus asa menuju nilai keyakinan yang kuat bahwa tak selamanya hidup ini di dera panas, akan tiba masa hujan penuh rahmat. Dan masa itu pun tiba, di tanah Viking Norwegia bersama mas Gagahku,  imam yang Allah karuniakan dari negeri Sang Paulus untukku menjejak bersama. Terimah kasih ibu Helvy Tiana Rosa atas karya luar biasa yang penuh inspirasi: Ketika Mas Gagah Pergi.  Aku berharap karya luar biasa ini kembali menginspirasi generasi muda saat ini sebagaimana aku menjadi saksi sebuah perubahan setelah membaca aksara-aksara luar biasa dalam buku Ketika Mas Gagah Pergi.


 

BREAKING NEWS DARI SAHABAT MAS GAGAH!

Mari wujudkan film Ketika Mas Gagah Pergi SESUAI SPIRIT BUKUNYA! Caranya? Ikut crowdfunding/ “Patungan Bikin Film” Ketika Mas Gagah Pergi bersama para Sahabat Mas Gagah (@sahabatmasgagah). Kamu bisa urunan semampu kamu. Catat rekeningnya!  BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena. Konfirmasi sms 08121056956. Info: www.masgagah.com atau www.sastrahelvy.com

“Ini film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, kita dan dunia yang nonton!”

Leave a comment

Filed under Cerpen, Kabar, Lainlain, Sketsa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s