Naskah drama Tanah Perempuan ditulis Helvy tahun 2005 dalam sembilan babak. Tahun 2007 naskah ini diterbitkan oleh Penerbit Lapena Banda Aceh. Tahun 2009 untuk kepentingan pementasan Tanah Perempuan, Helvy menuliskannya kembali dalam tiga babak. Naskah ini dipentaskan pertamakali oleh Bengkel Sastra UNJ pada 8 November di Gedung Kesenian Jakarta dan dibawa keliling hingga ke Banda Aceh dalam rangka Hari Pahlawan, Hari HAM Sedunia, Hari Ibu, dan Peringatan 5 Tahun Tsunami. Bertindak sebagai sutradara Ferdi Firdaus.
Ternyata hilangnya Ma’e barulah awal dari kepedihan beruntun yang menimpa Mala dan keluarganya. Tak lama kemudian, Abu tewas ditembak orang tak dikenal di depan rumah mereka. Saat itu Mak sangat terguncang, begitu pula Mala dan anggota keluarga yang lain.
Imran menyarankan agar mereka semua hijrah ke Penang. Meski tak punya saudara, dengan bekal sedikit harta yang masih dimiliki, Imran yakin kehidupan keluarga mereka akan lebih baik. Namun Mala dan Majid tak setuju. Mereka merasa tempat mereka adalah Aceh. Dan apa pun yang terjadi, mereka harus mencoba bertahan. Imran tak setuju dan sejak saat itu hubungan mereka mulai renggang. Imran sendiri memiliki seorang kekasih bernama Surayya, namun Surayya menghilang. Menurut banyak tetangganya, Surayya bergabung dengan pasukan bersenjata dalam hutan. Imran patah hati.
Sepeninggal Abu, Mak sakit-sakitan. Suatu malam Majid pergi ke rumah Ibrahim temannya yang juga seorang dokter. Ia bermaksud meminta Ibrahim mengobati Mak yang demam tinggi dan terus mengigau. Namun saat sampai di rumah Ibrahim ia didatangi orang yang mengaku dari kepolisian. Kali ini mereka memaksa membawa Majid, dengan alasan Majid adalah anggota pemberontak, sebagaimana Ibrahim. Pembelaan diri Majid tak digubris.
Mala pun turut sakit-sakitan dan sering menangis mengingat kemalangan yang menimpa keluarganya. Mak semakin terguncang. Sementara Imran kian mendesak agar mereka pergi. Apalagi tulang punggung utama keluarga mereka, ketiganya, telah tak ada. Surayya kekasihnya pun ia anggap telah melupakannya. Imran sangat khawatir bila suatu saat dirinya akan hilang, ditahan atau dibunuh. Di luar dugaan, Mak malah meminta Imran pergi. Ia tak ingin melihat anaknya diculik, ditahan atau dibunuh sebagaimana yang terjadi pada ratusan lelaki di daerah mereka. Mak memberi Imran uang simpanannya agar Imran bisa merantau. Semula Imran tak tega, namun dua perempuan yang paling disayanginya itu memaksa. Apalagi mereka mendengar kabar beberapa teman Imran juga tak jelas lagi rimbanya. Akhirnya mereka berpelukan dan berpisah.
Sepeninggal Imran, kondisi kedua perempuan itu semakin lemah. Namun setiap kali melihat Agam, Mala kembali memiliki harapan. Sayang, kemudian Mala harus berhenti mengajar karena terjadi pembakaran terhadap ratusan sekolah di Aceh, termasuk SMU tempatnya mengajar dan tempat Agam sekolah, tak jauh dari rumah mereka. Mengetahui kebakaran tersebut Mak semakin panik dan merasa suatu saat rumah mereka pun akan dibakar. Guncangan yang bertubi-tubi membuat jiwa Mak terganggu.
Di tengah kegalauan itu tiba-tiba terjadi bencana gempa dan tsunami. Rumah Mala musnah. Mala terpisah dari Agam dan Mak. Berhari-hari, dalam kondisi luka-luka dan terguncang, Mala mendatangi tempat-tempat pengungsian, berharap dapat bertemu Mak dan Agam. Semua sia-sia. Di suatu tempat pengungsian Mala menemukan Mak telah meninggal.
Lalu setelah semua kejadian itu, untuk apa seorang Mala hidup? Mala berpikir untuk mati. Maka ia menikmati saja rasa lapar dan hausnya. Ia hanya ingin mati. Ia tak mau lagi hidup dengan kenangan buruk dan tanah Aceh kebanggaannya yang poranda.
Di saat itu sekonyong-konyong Mala bertemu dengan Laksamana Keumalahayati, seorang pahlawan armada laut Aceh, laksamana perempuan terkemuka di dunia, yang hidup pada abad 16-an. Melalui kisah dan dialog, Keumalahayati— yang berduka mengetahui tentang tsunami— tetap memberi Mala semangat untuk bertakwa kepada Allah dan tak henti berjuang bagi hidup dan tumpah darahnya.
Belum lagi hilang kebingungannya, tiba-tiba Mala sudah berada di sebuah istana yang indah. Ia tercengang saat bertemua dengan Safiatuddin Syah, sultanah/ pemimpin kerajaan Aceh abad 17, anak dari Sultan Iskandar Muda. Setelah Aceh dibalut duka dengan kepergian sang Sultan, Safiatuddin berhasil membawa Aceh pada kecemerlangan. Safia berhasil memajukan pendidikan, ekonomi dan peran perempuan. Rakyat begitu mencintainya hingga ia berkuasa selama 35 tahun. Sama dengan Keumalahayati, Safiatuddin percaya bahwa pada diri tiap perempuan Aceh ada kepemimpinan dan cinta yang luar biasa untuk selalu membangun negeri mereka.
Sesaat kemudian Mala sudah berada di sebuah hutan dan bertemu dengan Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Cut Nyak Dhien menghardik semangatnya. Cut Nyak mengatakan bahwa sebagai perempuan ia pernah kehilangan semua harta dan keluarganya, namun tak akan pernah dan tak boleh menyerah pada ketakberdayaan. “Musuhmu sekarang bukan Belanda, anakku, tapi diri dan ketakberdayaanmu. Bangkitlah!”
Suatu pagi Mala bisa melihat matahari kembali. Tersaruk-saruk ia berjalan ke arah matahari. Ia merasa hampir mati karena lapar, haus dan dingin. Namun kali ini ia tak ingin mati. Ia harus berjuang untuk hidup, sebagaimana perempuan-perempuan Aceh lainnya di masa lalu.
Mala pun sampai di suatu tempat pengungsian. Di sana ia memulihkan dirinya dan membantu apa saja yang mungkin ia lakukan. Ia mengevakuasi mayat, memasak, mengobati yang sakit, mengajar dan bermain dengan anak-anak pengungsi. Ia juga sudah pasrah bila Mak dan Agam meninggal.
Mala kini merasa tak pernah sendiri. Di tengah para pengungsi Aceh, ia selalu merasa bersama dengan Keumalahayati, Safiatuddin Syah, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, serta ribuan perempuan pahlawan Aceh yang terus memberinya semangat untuk bangkit serta tekad untuk tak meninggalkan Aceh, apapun yang terjadi. Bukankah Aceh dulu berjaya karena di tanah tersebut lahir begitu banyak perempuan pejuang yang bahkan dihormati, disegani dan dicintai oleh kaum lelakinya?
Adegan ditutup dengan pertemuan yang tak disangka antara Mala dengan anaknya Agam yang ternyata masih hidup. Mala juga berjumpa kembali dengan Surayya yang memutuskan keluar dari hutan karena tsunami dan Perjanjian Helsinski. Meski masih belum sepenuhnya yakin dengan perjanjian tersebut, Surayya bertekad untuk turut bahu membahu membangun kembali Aceh dari tumpukan puing-puing luka yang selama ini menggerogoti nanggroe mereka tercinta. Ternyata tsunami yang memporakporandakan nanggroe adalah juga yang menyatukan semua hati yang pernah terluka di Aceh. Menyatukan semua kembali, itulah hikmah yang paling nyata dari peristiwa tsunami.
assalamualaikum
Di mana kami bisa mendapatkan naskah drama tanah perempuan ?
terima kasih 🙂
Bisa ke Penerbit Lapena Banda Aceh. Perlu berapa buku? kalau 1 atau 2 mgkn saya masih ada. makasih ya