Sastra yang Menggerakkan

Image

Kegelisahan masyarakat akan menjadi kegelisahan para sastrawan. Begitu pula harapan, penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian dari diri dan jiwa  sastrawan (Jakob Soemardjo)

Pendahuluan

Karya sastra sebenarnya selalu berbicara mengenai hal yang sama, yaitu kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah sebuah kenyataan sosial. Oleh karena itu baik karya sastra maupun pengarangnya tak akan pernah bisa menghindar dari berbagai problem sosial yang terdapat di dalam masyarakat, di mana sang pengarang adalah juga bagian dari masyarakat tersebut.

Sebagaimana yang kita pahami, karya sastra sangat terkait dengan latar belakang sosiokultural sastrawannya, atau yang kita kenal dengan unsur ekstrinsik. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut menyebabkan karya sastra memiliki tendensi berupa amanat, unsur-unsur yang mendidik serta makna kearifan hidup (etika) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, tanpa mengabaikan unsur estetikanya. Secara komplit Kuntowijoyo menyatakan bahwa karya sastra terbangun atas strukturisasi pengalaman, struksturisasi imajinasi dan strukturisasi nilai yang diolah oleh sang pengarang.[3]

Pertanyaannya kemudian, sejauhmana karya sastra mampu menggerakkan suatu perubahan sosial? Di mana posisi sastrawan sebagai agen perubahan? Bisakah seorang sastrawan mengakomodir problema masyarakatnya,  mengangkatnya dalam karya sastra yang tak lepas dari kaidah estetik, lalu karya tersebut menginspirasi sebuah perubahan sosial?

Sesuai permintaan panitia, dalam kesempatan ini saya akan memaparkan makalah mengenai bagaimana respon dan sikap pengarang terhadap problem–problem sosial budaya masyarakat, berdasarkan pengalaman saya sebagai pengarang.

 

Sastra yang Mengubah?

Proses Kreatif: Dimensi Pembaca

Memang terdapat karya sastra tertentu yang dianggap memiliki kemampuan “menggerakkan”, seperti  beberapa karya Charles Dickens yang mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang memperbaiki kondisi kaum buruh di negara tersebut atau Uncle Tom’s Cabin yang membantu menghapus perbudakan negro di Amerika Serikat, misalnya.

Saat bertemu dengan Harriet Becher Stowe, penulis Uncle Tom’s Cabin, Presiden Lincoln berkata, “Wah, jadi ini ya nyonya mungil yang yang menimbulkan perang besar ini,”

Namun sebelum masuk ke narasi besar tersebut, saya terlebih dahulu berpikir mengenai perubahan dalam diri saya. Adakah sastra telah mengubah saya?

Saya meninjaunya pada beberapa hal. Terutama menyangkut karya sastra. Saya bertanya pada diri saya sendiri, adakah buku sastra yang bisa mengubah atau membentuk saya? Buku yang membuat saya “menjadi”, atau paling tidak turut mewarnai kehidupan saya?

Setelah diingat-ingat, ternyata cukup banyak. Tetapi kalau boleh hanya menyebutkan tiga, saya akan sebut: Javid Nama (Muhammad Iqbal), Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah (A. Hasjmy) dan Totto Chan (Tetsuko Kuroyanagi). Ketiganya saya baca saat saya duduk di bangku SMP.

Menurut saya, buku yang baik tak akan pernah bisa kita lupakan meski kita membacanya hanya sekali. Secara sadar saya membaca ketiga buku di atas lebih dari sekali, terutama Javid Nama, mungkin ada sepuluh kali. Mengapa mengubah saya? Karena ketiga buku tersebut menyampaikan hal-hal yang mencerahkan dan membuat saya ”bergerak”. Bagi saya, buku yang baik juga adalah buku yang bisa membuat kita bergerak. Usai membaca ketiga buku tersebut, saya merasakan ada perubahan dalam diri saya.

Javid Nama mendorong saya untuk turut menjadi Zinda Rud si ”Sungai Kehidupan” (tokoh utama Javid Nama) yang terus belajar tanpa kenal ruang dan waktu, dimulai dari mencari hakikat diri sebagai hamba Illahi. Sebagaimana Zinda Rud, tiba-tiba saya bisa bertemu dan berdialog mengenai apa saja, dengan tokoh-tokoh yang saya kagumi maupun yang tak saya suka. Saya berdialog dengan Khansa atau Jalaludin Rumi tentang apa yang saya tulis. Saya juga berdebat dengan Dante mengenai La Divina Comedia-nya. Buku Javid Nama mendorong saya untuk berjuang menjadi manusia yang paling hamba di muka bumi ini.

Apakah kau mati, hidup atau sedang sekarat? Ujilah keadaanmu dengan tiga patokan ini: Pertama, kesadaranmu sendiri. Lihatlah dirimu dengan cahaya yang ada padamu sendiri. Kedua, pandangan orang lain. Lihat dirimu di bawah sorotan cahaya orang lain. Ketiga, pandangan zat yang haq. Maka lihat dirimu di bawah sorotan cahaya Tuhan….[4]

Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah karya A. Hasjmy, membuat saya ingin menjadi seorang sastrawan yang bisa menyampaikan kebajikan secara estetik pada pembacanya, dan menjadi sastrawan yang memiliki komitmen dalam berkarya—mungkin ini terdengar aneh: selaras antara karya dan perbuatan.

Karya sastra sebenarnya menggambarkan suatu keadaan masyarakat, juga melukiskan jiwa dan pribadi sastrawan pencipta karya itu sendiri. Dengan membaca karya sastra seorang sastrawan yang menciptanya, kita akan mudah mengenal siapa sastrawan tersebut[5]

Membaca buku Hasjmy saya sadar, meski Roland Barthes menyatakan bahwa sastrawan mati ketika karyanya selesai dibuat, saya tak boleh ”mati”, saat karya itu ”hidup” dan menjadi milik publik. Sastrawan harus bisa bertanggung jawab terhadap apa yang ia tulis, baik di dunia, maupun akhirat. Sastrawan juga tidak identik dengan segala yang “cuek”, “dekil,” atau ”amburadul”, sebab bila mau, sastrawan mampu menjadi teladan bagi masyarakat.

Nah, sejak membaca buku tersebut, sebelum menulis saya selalu berpikir, apakah tulisan saya ini akan membuat sedikit pencerahan bagi pembaca, atau malah akan mengambil bagian dalam membuat bobrok masyarakat sekitar?

Buku Totto Chan karya Tetsuko Kuroyagi membuat saya ingin menjadi guru yang menyenangkan. Guru yang bisa mengajak murid-muridnya belajar sambil bermain, sebagaimana Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, Mr. Kobayashi.

Mr. Kobayashi berpendapat, semua murid di Tomoe akan bisa menjadi guru yang baik, karena mereka pasti ingat bagaimana asyiknya menjadi anak-anak….

Tiga bulan sesudah membaca buku Totto Chan saya mulai mengajar anak-anak gelandangan di dalam gerbong kereta api di daerah kumuh Gunung Sahari. Mereka bahagia saya ajarkan membaca, menulis dan berhitung sambil bermain, dengan gratis. Walau beberapa kali mendapat ancaman pemukulan dari beberapa preman di daerah tersebut, saya masih mengajar di sana hingga duduk di bangku kuliah. Saya baru berhenti ketika tempat tinggal mereka di sekitar gerbong-gerbong kereta tak terpakai itu, digusur. Sungguh sedih kehilangan mereka secara mendadak atas nama pembangunan.

Tentu banyak lagi buku sastra yang mengesankan dan mungkin berpengaruh bagi saya dan Anda. Bisa jadi buku-buku tersebut telah menggerakkan batin, dan mengubah langkah kita untuk sedikit berbuat bagi masyarakat melalui karya sastra. Atas keyakinan itulah kemudian saya menerbitkan buku kumpulan cerpen, puisi dan esei yang saya beri judul: Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah (Gunung Djati, 1999). Sepakat dengan Ahmadun Yosi Herfanda dalam tulisannya “Sastra Pragmatik dan Orientasi Penciptaan” (Republika 2008), saya meyakini bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial.
Jadi inilah saya: anggota masyarakat yang berubah menjadi lebih baik karena membaca karya sastra!

Dimensi Penulisan

Proses kreatif saya dalam menulis karya sastra bukanlah kisah hebat, namun barangkali dapat menjadi inspirasi bagaimana sastra bisa membawa kita pada suatu perubahan, berawal dari diri dan kemudian masyarakat..

Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa menciptakan realitas lain dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak duduk di sekolah lanjutan, saya putuskan: itulah dunia saya. Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka Indonesia dan dunia. Saya tercengang membaca O. Henry, Danarto, Kafka, Solzhenitsyin, Edgar Allan Poe, Putu Wijaya, Taufiq al Hakim, Chekov, Guy de Maupassant, dan lain-lain.

Tak puas membaca, saya mulai menulis puisi serta cerpen dan mengirimkannya ke beberapa media. Saya harus menanti cukup lama untuk melihat karya saya tersebut dimuat. Meski harus meminjam mesin tik tetangga yang sudah bulukan, saya tak berheti menulis. Nun jauh di sana, saya bayangkan para redaktur majalah merasakan “teror” yang saya lancarkan. Biarlah karya saya tak juga mereka muat. Paling tidak, ambil sisi positifnya: saya terus berkarya dan mereka menjadi hafal dengan nama saya —yang karyanya tak mereka muat-muat itu.

Saat tulisan saya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) dimuat di majalah Annida, tahun 1993, saya tak pernah membayangkan reaksi yang muncul setelahnya. Saya menerima puluhan pucuk surat perhari yang khusus berkomentar mengenai KMGP. Beberapa orang mengatakan sangat tersentuh membaca cerpen tersebut. Puluhan dari mereka menyatakan bahwa KMGP mengubah hidup, bahkan keluarga mereka. Sebenarnya saya sukar percaya, namun ratusan pucuk surat mengenai KMGP sampai di meja saya setiap minggu dan baru berkurang lima tahun kemudian[6].

Tahun 1997, KMGP diterbitkan dalam bentuk buku dan habis 5,000 eksemplar dalam dua minggu pertama penerbitannya. Setahun kemudian, Motinggo Busye berkata tentang KMGP: “Tulisanmu tak selesai di otak atau hati pembaca. Tulisanmu, bukumu itu menggerakkan. Kamu tidak percaya, tetapi lima orang tetangga saya pakai jilbab karena membaca tulisanmu. Kamu harus terus menulis!”

Saya tidak begitu yakin dengan perkataan tersebut sampai saya bertemu banyak kalangan pembaca yang meminta saya terus berkarya.

“Saya terinspirasi!”

“Saya tercerahkan!”

“Saya mendapat hidayah dari buku-buku Mbak!”

“Buku mbak membuat saya berubah!

“Cerpen-cerpen mbak menggerakkan saya!”[7]

Saya pun terus menulis. Saya kerap mengangkat berbagai problema sosial budaya dalam masyarakat, bukan saja di tempat saya berpijak sekarang, Indonesia, hingga dunia.

Bagi saya, menulis cerpen itu adalah refleksi dari misi ammar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini saya berusaha mengajak pembaca merenungi kembali hakikat diri sebagai hamba Illahi. Selain itu saya juga ingin menginformasikan sekaligus menggugah kepedulian pembaca tentang berbagai persoalan sosial juga pelanggaran hak-hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Mengapa ada kata menginformasikan? Bukankah informasi adalah bagian dari berita dan berarti menjadi tugas para jurnalis?

Terus terang, saya sering kecewa dengan berita di berbagai media (dunia) yang sering terdistorsi, terutama bila menyangkut dunia ke tiga dan kaum muslimin..

Contoh yang paling gampang adalah kasus Palestina. Para pejuang kemerdekaan Palestina, Hamas, yang ingin memerdekakan negeri mereka setelah puluhan tahun dijajah Israel dicitrakan sebagai teroris dan fundamentalis. Bukankah seharusnya mereka yang setiap hari menjajah, memenjarakan, membantai, membunuhi anak-anak, wanita dan penduduk sipil di Palestina itu yang pantas disebut teroris? Bagaimana mungkin pemuda-pemuda Palestina yang membela diri, bersenjatakan batu bisa disebut teroris, sementara tentara Israel yang menggempur dengan persenjataan berat dibiarkan begitu saja? Saya lalu menulis Hingga Batu Bicara setelah menyaksikan lagi tayangan televisi tentang tentara Israel yang berjaga-jaga dengan pongah di sekitar masjid Al Aqsha.

Kejengkelan saya pada orang-orang kaya dan para pejabat yang bolak balik ke Mekah dengan atau tanpa uang korupsi, membuat saya menulis cerpen “Juragan Haji” (1998). Untuk apa mereka berkali-kali ke sana sementara kelakukan tidak berubah? Sementara di sekitar mereka banyak orang miskin dan kelaparan? Bukankah lebih baik uang tersebut dipakai untuk menolong mereka, termasuk menghajikan? Tokoh Juragan Haji dalam cerpen saya memiliki seorang pembantu bernama Mak Siti yang merindukan berhaji pada usia 65 tahun. Ia telah menabung puluhan tahun namun belum cukup untuk sampai ke sana. Dalam kerinduan yang menggelora pada Ka’bah, Mak Siti teringat bahwa ia masih memeiliki seorang ibu di kampung yang berusia 85 tahun dan bermimpi suatu hari nanti bisa berhaji pula! Cerita ini kemudian menginspirasi adik saya Asma Nadia untuk menulis cerpen senada: “Emak Ingin Naik Haji” yang diangkat ke layar lebar,  mendapat 6 nominasi FFI 2009 dan 12 nominasi dalam Festival Film Bandung 2010.

Mungkin sama dengan pengarang lain, saya sering menangis kala menulis, terutama menulis cerita tentang kemiskinan dan ketidakpedulian yang semakin beranak pinak di negeri ini. Tentang tenaga kerja wanita yang mengalami hinaan, celaan dan kekerasan seksual demi menambah devisa negara, namun masih saja diperas saat sampai di bandara. Tentang persahabatan antar etnis yang sebenarnya merupakan harapan besar saya agar masyarakat negeri kita yang kaya akan keberagaman, selalu hidup berdampingan penuh cinta.

Ilham bisa datang kapan saja. Perbincangan saya pada suatu hari dengan seorang pemuda Jepang yang kuliah di Fakultas Sastra UI melahirkan Akira no Seisen. Beberapa jam setelah hasil jajak pendapat di Lorosae diumumkan, Ze rampung. Cerpen itu menampung kepedihan saya yang diwakili sosok Ze, bahwa Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Saya menawarkan sudut pandang lain dalam cerpen tersebut. Tokoh Ze mengikuti jalur perjalanan Khaffi Anan untuk bisa sekadar menyampaikan pendapatnya sebagai anak Lorosae yang cinta pada perdamaian.[8]

Waktu “Kibere” cerpen tentang Timor-Timur juga, saya tulis, saya pun menerima surat kaleng yang dialamatkan lagi-lagi ke kantor. Isinya: Tahu rasa nanti jika menulis cerita politik! Bisa mampus! Padahal cerpen itu sangat menyentuh dan hanya bercerita tentang persahabatan antara anak Jawa, Bugis, Batak serta Timor Timur. Mereka anak-anak SD dan teman bermain di Dili yang bermimpi menjadi tim sepakbola Indonesia yang hebat suatu saat nanti. Namun mereka terpaksa berpisah saat terjadi kerusuhan menjelang referendum di sana.

Jaring-jaring Merah saya tulis ketika saya membaca berita tentang perkampungan para janda di Aceh dan kuburan massal yang ditemukan di beberapa tempat di daerah tersebut akibat Operasi Jaring Merah yang dilakukan bertahun-tahun di sana. Saat karya tersebut diterbitkan tahun 1998 di Majalah Annida dan kemudian diminta Horison untuk diterbitkan di majalah tersebut tahun 2000[9], saya mendapat beberapa ancaman melalui telepon dan surat kaleng. Jangan sembarangan menulis cerpen kalau tak mau mati!

Awalnya saya pikir orang iseng. Tapi ternyata saya menerima surat tanpa alamat jelas pengirim itu beberapa kali di kantor saya waktu itu: Majalah Annida. Jangan menulis seperti “Jaring-Jaring Merah” lagi kalau tak ingin mampus!

Ketika mendapat ancaman tersebut saya tak bisa apa-apa selain tawakal. Saya merenung kembali. Apa sebenarnya yang saya tulis? Saya kira tak ada yang buruk dan tak patut, karena hanya menulis sesuatu yang mendesak-desak kepala dan batin saya, dan mungkin juga masyarakat. Saya hanya mencoba menulis sesuatu sebagai setitik obat dari nurani saya yang terluka akibat ketidakadilan yang tercabik-cabik di negeri ini.

“Lelaki Kabut dan Boneka” adalah cerpen saya mengenai isu dan kasus pengeboman di negeri ini. Tokoh utamanya adalah ia yang saya sebut “lelaki kabut”. Ia ada tapi seolah selalu diselubungi kabut. Ia memiliki banyak “boneka” yang bisa ia gerakkan sesuai kemauannya, termasuk untuk membuat tanah airnya porak poranda.

Tak saya duga bahwa saya menerima ancaman dari “Lelaki Kabut”, di antaranya dengan redaksional sebagai berikut: “Saya akan meledakkan bom berikutnya di Jakarta minggu depan! Salam, Lelaki Kabut.”

Syukurlah apa yang disampaikannya tak benar.

Sementara itu, cerpen “Lelaki Semesta” mengisahkan seorang ustadz yang dituduh sebagai pelaku pemboman, padahal ia tak pernah melakukannya. Malaikat yang selalu menemaninya pun bersaksi tentang hal tersebut. Cerpen LS memang merespon kecurigaan berlebihan terhadap para ulama di dalam maupun luar negeri yang sering menjadi bulan-bulanan fitnah tanpa bukti. Memang banyak kyai dan ustadz yang brengsek di mana-mana, tetapi tak semua harus dicurigai karena mereka bersorban dan berjenggot bukan?

Cerpen memang bukan fakta, tetapi cerpen-cerpen saya selalu berangkat dari realita yang ada. Saya bereaksi, menanggapi peristiwa demi peristiwa dengan cerpen. Tak peduli peristiwa tentang apa di negeri mana, ketika itu menyentuh nurani saya, maka lahirlah sebuah karya[10]. Kadang saya merasa harus berjuang dengan cerpen. Kalau bukan untuk masyarakat, paling tidak untuk rasa kemanusiaan dalam diri saya.

Salah satu perubahan besar yang terjadi dalam diri saya adalah bagaimana cerpen-cerpen yang kita tulis dengan niat tulus itu, bisa mengubah kita menjadi orang yang dikenal masyarakat. Cerpen-cerpen tersebut bisa membuat kita didengar orang ketika berbicara, dan diperhatikan saat menulis. Kita bisa diundang hingga begitu jauh dari negeri ini hanya untuk berbicara mengenai karya-karya kita yang mungkin tidak bagus-bagus amat itu, serta membacakannya di hadapan para petinggi, akademisi atau para pencinta sastra. Tiba-tiba kita diminta mengisi berbagai seminar, termasuk mengenai bidang lain di luar sastra (pertahanan keamanan negara? Keuangan? Kriminalitas yang meningkat? Transportasi kota? KB? Soal kehutanan dan kelautan?). Rupanya sastrawan dianggap sebagai orang pintar dan banyak pengetahuan tentang ini dan itu.

Begitulah efek yang saya rasakan dari menulis cerpen. Cerpen-cerpen itu telah menerbangkan saya sampai ke Hong Kong, Jepang, Mesir, Amerika Serikat dan beberapa negeri lainnya. Ya, cerpen-cerpen itu bukan hanya telah memanusiakan diri saya namun juga membuat saya menjelma “selebriti” kecil-kecilan. Hal ini membuat perubahan besar lain dalam hidup saya selanjutnya.

Meski demikian tentu saja kepuasan batin yang amat sangat adalah saat cerpen-cerpen saya dianggap menjadi pemicu  perubahan ke arah yang lebih baik bagi para pembaca saya. Hal-hal tersebut kerap mereka tulis melalui surat, lewat email, facebook,twitter atau di blog saya http://helvytr.multiply.com dan di http://klubhelvy.multiply.com. Hal tersebut pula yang membuat saya merasa berdosa bila lama tidak menulis, padahal banyak hal yang mungkin bila kita tulis dengan hati, bisa membawa pada perenungan atau menggugah orang lain/ masyarakat yang membacanya.

Benarlah Paulo Freire ketika ia mengatakan bahwa masyarakat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi harus dijadikan sebagai subjek. Persoalan-persoalan yang melanda masyarakat kecil dan tertindas perlu diungkap dalam karya sastra. Meski sastra tidak dapat secara langsung mengentaskan problem sosial budaya yang menghimpit masyarakat, paling tidak bisa menggugah mereka  untuk senantiasa mengasah nurani dan mungkin menginspirasi mereka melakukan sesuatu setelah membacanya.

Dimensi Gerakan

Ketika saya dan adik saya Asma Nadia masih kecil, kami sudah ingin menjadi penulis. Tetapi mau belajar kemana? Pada siapa? Kami hanya anak kecil, orang tak punya yang tinggal di sebuah rumah triplek, di tepi rel kereta api. Siapa peduli? Bahkan ketika kami datang ke perpustakaan atau tempat penyewaan buku, kami diusir.

Tahun 1997 saya dan Asma Nadia menggagas sebuah komunitas yang bisa memotivasi dan mewadahi siapa saja (khususnya kaum muda dan dhuafa) agar mereka lebih menyukai kegiatan membaca dan menulis. Tak disangka gagasan ini disambut dengan tangan terbuka oleh teman-teman kami di beberapa universtas negeri, bukan hanya di Jabotabek, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia.

Pada saat itu, minat para remaja kita terhadap kegiatan membaca dan menulis tidaklah menggembirakan. Sebagian dari mereka mungkin memiliki minat besar terhadap membaca dan menulis karya sastra, namun tak berkembang karena minimnya forum yang bisa mewadahi, termasuk memotivasi dan melatih mereka menulis, apalagi yang membuka pintu lebar bagi kaum marjinal.. Maka berdirilah Forum Lingkar Pena (FLP), tepatnya pada, 22 Februari 1997. Waktu itu seluruh anggota yang bergabung (30 orang) belum menjadi penulis. Hanya saya yang sudah mempunyai satu buku karya sendiri. Maka secara aklamasi, saya pun dipilih sebagai Ketua.

Dengan seadanya dan terbata-bata, saya berusaha untuk membimbing mereka untuk menjadi penulis. Kebanyakan dari mereka memang mempunyai minat terhadap sastra sehingga saya pun semangat membimbing mereka. Begitulah. Setiap kali ada anggota yang karyanya diterbitkan di media massa nasional, misalnya, maka ia sudah mempunyai kewajiban sebagai mentor dan turut membimbing anggota lain yang lebih “yunior” secara sukarela.

Kemiskinan dan banyaknya pengangguran di Indonesia sebagai problema sosial yang tak kunjung usai, juga menjadi salah satu perhatian kami. Lalu muncul ide, untuk memberi keterampilan menulis pada berbagai kalangan yang memang berminat dan membutuhkan. Bukankah tingkat peradaban suatu bangsa akan semakin tinggi bila banyak orang yang membaca dan menulis di negeri tersebut?  Karena itu kemudian keanggotaan FLP benar-benar terbuka. Siapa pun boleh bergabung, dan kelak bila ia benar-benar menjadi penulis, ia mempunyai tugas pula untuk membimbing mereka yang belum menjadi penulis.[11]

Saat itu banyak yang mencemooh kami, bahkan meledek FLP sebagai “mualaf sastra”[12]. Apalagi saat kemudian FLP tak pilih-pilih, dan juga membina para anak jalanan, para pembantu rumah tangga atau mereka yang sedang berada dalam penjara.

“Menulis itu pekerjaan kaum intelek dan sakral. Tidak bisa sembarangan!” kata seorang sastrawan senior,  memarahi saya.

Saya percaya keahlian menulis itu gifted, seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, namun saya juga yakin bahwa sampai pada tahap tertentu menulis itu bisa diajarkan melalui berbagai tahap latihan. Saya dan FLP  tak akan pernah bisa mencetak seseorang seperti Sutardji atau Goenawan Mohammad, namun bisa memotivasi dan mengajarkan menulis pada siapa pun yang memiliki tekad dan mau latihan agar ia memiliki skill yang kelak bisa menambah kualitas kehidupannya.

Setiap minggu FLP di berbagai wilayah, cabang maupun ranting, mengadakan berbagai kegiatan. Mereka juga mengelola Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) yang secara bertahap didirikan di berbagai FLP wilayah. Kami juga memberi perhatian pada anak-anak dengan membuka FLP Kids di beberapa cabang FLP sejak tahun 2000. FLP Kids kemudian menjadi motor kebangkitan penulis cilik di Indonesia, dengan program Kecil kecil Punya Karya (KKPK) yang digagas pengurus FLP Ali Muakhir bekerjasama dengan Penerbit Mizan.[13]

M Irfan Hidayatullah, cerpenis dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNPAD pada Munas FLP Februari 2005 terplih sebagai Ketua Umum FLP Pusat menggantikan saya. Tahun 2009, Setiawati Intan Savitri, terpilih sebagai ketua umum FLP yang ketiga.

Dalam deklarasinya, komunitas FLP menganggap karya sastra berperan penting dalam proses pencerahan, termasuk turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan ahlak masyarakat.

Dengan demikian, para anggota FLP mempunyai kesepakatan sebagai berikut:

(1). Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika. Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak boleh menambah buruk keadaan masyarakatnya.

(2) Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati). Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.

(3) Pengarang sebagai teladan masyarakat.

Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, atau berada di ”menara gading”  dan pelbagai pandangan ”buruk” lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[14]

Data yang berhasil dihimpun pada tahun 2008 menunjukkan bahwa FLP telah beranggotakan lebih dari 7000 orang, menghasilkan lebih dari 1000 judul buku, bekerjasama dengan 50 penerbit dan memiliki cabang di 125 kota di Indonesia dan mancanegara[15]. Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra.[16] Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.[17] Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’.[18] Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.[19] Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional[20].

Taufiq Ismail menyebut FLP sebagai hadiah Tuhan untuk Indonesia.[21]

Gerakan Sastra PRT Hong kong

Di antara FLP  Wilayah dan Cabang, FLP Taiwan dan Hongkong menjadi sangat fenomenal. Keduanya beranggotakan para buruh migran Indonesia (BMI) yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

FLP Hong Kong resmi berdiri tahun 2004, digagas antara lain oleh Susanna Dewi. “’Menulis, mencipta sastra, membuat kami merasa menjadi orang yang lebih berarti dan peduli,” tulisnya via email pada saya sebelum kami bertemu, tahun 2003.

Kata-kata itu pula yang diucapkan Wina Karnie, Syifa Aulia dan Swastika Mahartika, tiga TKW di Hong Kong, saat meluncurkan kumpulan cerpen mereka: Perempuan di Negeri Beton (Haniya Press) dan Hong Kong Topan Badai ke-8 (Doyan Baca Publishing House), di Masjid Tsim Sha Tsui, Hong Kong, yang saya hadiri, beberapa tahun lalu.

Dalam kesempatan tersebut, di hadapan sekitar seribu rekan sesama TKW, ketiganya sempat membacakan cuplikan cerpen mereka yang banyak terinspirasi dari problema sosial yang mereka alami serta kental dengan warna lokal Hong Kong. Sungguh membanggakan sekaligus mengharukan bahwa dalam keterbatasan sebagai domestic helper mereka masih bisa menulis bahkan menghasilkan buku yang secara kualitas ternyata tidak mengecewakan.

Salah satu pengarang, Swastika, adalah pembantu rumah tangga yang tidak punya kamar di rumah majikannya. Ia bahkan tidak bisa membawa pulang sebuah disket pun dalam tas, karena disket apalagi flashdisc, menurut majikannya, bukanlah peralatan yang dibutuhkan oleh seorang pembantu rumah tangga. Setiap hari keluar masuk rumah, majikannya selalu menggeledah tasnya dan membuang semua milik Swastika yang ia anggap tak berkaitan dengan pekerjaan sang TKW. Bahkan, ketika mendapat piala dalam sayembara menulis yang diadakan FLP Hong Kong, Swastika harus menitipkan piala itu pada temannya, Dasih. Meski demikian, Swastika tidak menyerah. Ia memanfaatkan hari liburnya setiap minggu untuk mengetik di perpustakaan. Dan, bila ia tidak bisa keluar, teman-teman FLP Hong Kong membantu mengetikkan cerpen tersebut, menyimpannya dalam sebuah folder khusus.

Pengalaman Syifa Aulia lain lagi. Meski tidur di gudang dengan tempat tidur di bagian atas yang tidak pernah bisa membuatnya berada dalam posisi duduk sempurna, setiap majikannya tidur, ia pun mulai mengetik dengan laptop bekas yang ia beli dengan uang dari koceknya sendiri. Bila majikannya menegur karena lampu masih menyala, ia matikan lampu dan menyalakan senter. Kadang, Syifa juga memanfaatkan waktu di kamar mandi untuk mengarang satu dua puisi atau menggali ide untuk cerpen baru yang akan ditulisnya. Bukan itu saja, energinya masih tersisa untuk memimpin FLP Hong Kong selama 4 tahun.

Wina Karnie pun demikian. Majikannya boleh menyuruhnya apa saja dari mulai mengurus rumah, anak, sampai usaha periklanannya. Namun, Wina tak pernah lelah meluangkan waktu untuk menulis. ”Ada semacam semangat yang saya dapatkan justru dari keterbatasan itu,” ujar Wina, mantan Ketua FLP Hong Kong yang sangat gemar membaca karya sastra.

Buku-buku karya mereka termasuk Perempuan di Negeri Beton (Wina Karnie) maupun Hong Kong Topan Badai ke-8 (Syifa Aulia dan Swastika Mahartika) boleh jadi adalah suara hati para pengarangnya sendiri bersama sekitar seratus ribu TKW Hong Kong atau sekian juta TKW Indonesia lain di mana pun mereka berada. Membaca kedua buku itu kita dihadapkan pada problema sosial, wajah retak para buruh migran Indonesia, khususnya Hong Kong. Padahal Hong Kong adalah tempat kedua yang memberikan upah tertinggi serta jaminan hukum yang lebih pasti bagi para buruh migran setelah Taiwan. Namun, ternyata hal-hal yang menyedihkan juga ditemukan di sana, seperti gaji yang di bawah standar, penganiayaan, dan pemerkosaan.

Salah satu kasus yang sedang hangat dibicarakan, terdapat dalam kumpulan cerpen Wina Karnie. Kisahnya mengenai seorang TKW yang dijanjikan bertugas menjaga bayi. Tetapi, bukannya menjaga bayi lucu, ternyata ia dipaksa mengurus 10 ekor anjing yang kemudian tidak berhenti mencakar dan menggigitnya. Tubuhya carut marut dengan luka, juga koyak sana sini, hingga rabies menyerangnya.

Wina juga menampilkan cerita yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya. Misalnya, mengenai seorang pembantu rumah tangga yang dipaksa majikannya untuk mencuri tisu di beberapa toilet umum. Majikannya merasa tisu bukan barang yang layak ditukar dengan uang, sebab selalu hanya akan dibuang. Karena itu, ia tak henti memaksa pembantunya untuk terus ‘mengambil’ barang itu. Selain penderitaan para TKW di Hong Kong, Wina juga memotret kehidupan seks bebas dan lesbianisme yang menggejala di kalangan TKW sendiri.

Nyaris tidak berbeda dengan Wina, Syifa dan Swastika pun menampilkan hal yang hampir sama dalam karya-karya mereka. Namun, keresahan kehidupan para TKW dalam buku mereka, lebih dikaitkan dengan keluarga dan kampung halaman yang ditinggalkan, meski potret ketakberdayaan menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong juga muncul di beberapa cerpen, termasuk kala mereka dipulangkan dengan semena-mena oleh majikannya karena dianggap tidak lagi berguna.

Dari segi ide dan teknik penceritaan, Wina terlihat memiliki kelebihan dibanding kedua rekannya. Wina tidak memaksakan cerpen-cerpennya selesai, namun lebih menyukai ending terbuka yang memberi kita ruang lebih dalam menafsirkannya. Meski demikian, ketiga TKW pengarang ini adalah potensi dalam gerakan sastra buruh migran yang tidak bisa diabaikan dan kelak bisa jadi secara nyata akan mewarnai sastra Indonesia.

Seperti yang dikatakan Wina Karnie, kalau tadinya menulis menjadi salah satu bentuk terapi stress bagi para TKW Hong kong, khususnya mereka yang tergabung di FLP Hong Kong, kini membaca dan menulis sudah menjadi kebutuhan mereka.

”Dua kali sebulan kami selalu berkumpul untuk belajar menulis dan saling bedah karya. Karena tidak punya sekretariat, kami berkumpul di Victoria Park, di Masjid Wan Chai, dan di mana saja yang mungkin,” cerita Wina. Selain saya, Asma Nadia, Habiburrahman Elshirazy dan Taufiq Ismail adalah beberapa nama yang pernah mereka undang, dan mendatangkan antusisme yang tinggi dari para TKI di sana.

Hasil dari pelatihan-pelatihan itu kemudian diseleksi dan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen pertama mereka: Hongkong, Namaku Peri Cinta (Lingkar Pena Publishing House, 2005), karya tujuh perempuan pengarang: Andina Respati, Fia Rosa, Ikrima Ghaniy, Rof, S Aisyah Z, Syifa Aulia dan Wina Karnie. Buku pertama tersebut kemudian disusul oleh terbitan-terbitan lainnya.

FLP Hong Kong adalah salah satu FLP Wilayah yang 99 persen anggotanya adalah para domestic helper. Sebelum Susi Utomo, Andina Respati, Wina Karni, Syifa Aulia, Endang Pratiwi dan Susanna Dewi tercatat pernah menjadi Ketua FLP Hong Kong. Karena tidak memiliki dana, sampai sekarang FLP Hong Kong bahkan belum memiliki sekretariat sendiri. Namun, mereka terus berjuang, salah satunya lewat jalur penulisan. Kini secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk antologi bersama, mereka sudah menghasilkan lebih dari 20 buku.

Buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong memang cukup beruntung karena pemerintah setempat memasang rambu-rambu hukum yang cukup jelas untuk melindungi hak dan kewajiban mereka. Sebagai domestic helper misalnya, mereka mendapat hak libur empat kali dalam satu bulan, sehingga mempunyai kesempatan untuk menyegarkan jiwa dan raga, juga mengembangkan potensi semisal belajar berorganisasi, menekuni bidang pendidikan, dan berseni sastra.

Menurut data Departemen Imigrasi Hong Kong, per Februari 2007 tercatat 105.320 buruh migran Indonesia bekerja di negara itu. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah perempuan yang bekerja di lingkungan domestik, dan lebih dari 200 orang merupakan anggota FLP.

Memecahkan Problem Sosial dengan Sastra?

Sakti Wibowo memulai karirnya sebagai buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira, beberapa tahun kemudian ia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini ia bekerja sebagai scriptwriter lepas dan editor di sebuah penerbitan.

Nasirun selalu memperkenalkan dirinya sebagai “Lulusan TK Pertiwi”. Ia berangkat dari desa ke kota dan bergelut dengan berbagai macam pekerjaan: tukang parkir hingga menjadi penjaga kotak WC. Lalu kemudian ia dimerdekakan oleh sebuah pekerjaan: menulis. Kini banyak orang belajar menulis dari seorang penyair yang juga kartunis itu.

Paris J. Ipal bekerja sebagai SPG di sebuah mall di Jakarta, kini telah menulis lebih dari lima buku. Amir, jauh-jauh merantau dari Sulawesi Selatan dengan kesadaran penuh: pergi ke Jakarta dan menjadi penulis. Ia sempat terlunta-lunta sebelum akhirnya menjadi SPG di Gramedia dan tahun lalu memenangkan sebuah sayembara penulisan cerpen berhadiah jutaan rupiah. Kini ia tengah menyiapkan buku pertamanya. Begitu juga yang dilakukan Arlen Ara Guci; dari pengangguran di kota, menjelma penulis lima buku, bahkan bisa bekerja di penerbitan. Suhartono adalah seorang loper koran yang cukup produktif dalam menulis dan kini menjadi pengurus FLP Tegal[22].

Afifa Afra seorang mahasiswi pekerja sosial, yang dari jalanan kemudian menulis puluhan buku, bahkan membuat sekolah menulis. Noor H Dee adalah koki sebuah kafe di Jakarta yang kemudian menemukan jalan sejatinya sebagai pengarang dan penggiat sebuah penerbitan. Bukunya: Sepasang mata untuk Cinta yang Buta, baru saja terbit dan menegaskan keseriusannya di dunia sastra.

Andi Birulaut juga contoh, bagaimana seorang “preman” kemudian bermetamorfosis menjadi pengarang, dan berhasil membawa preman-preman lain di daerah sekitar Penjaringan, Jakarta Utara untuk peduli dan bergerak membuka Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan karya), bagi anak dan remaja dhuafa di sana[23].

Para TKW Hong Kong, Sakti Wibowo, Nasirun Purwokartun, Noor H. Dee, Suhartono, Andi Biru Laut dan sejumlah nama lainnya bisa jadi merupakan bagian dari problema sosial yang dihadapi negeri ini. Orang-orang ini mengingatkan saya pada apa yang pernah ditulis Ang Tek Khun:

Aku belajar

bahwa belajar seringkali bukan ketersediaan waktu

melainkan pada kesediaan

pada ketundukan hati

 

Aku belajar

bahwa belajar seringkali bukanlah rangkaian aksi

melainkan proses membuka diri

proses menerima

Bagi mereka sastra bukan sekadar “obat” dari problema sosial yang mereka hadapi, melainkan juga sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh panggul, penjaga kotak WC, pengangguran, koki, dan sebagainya itu. Sastra mereka mungkin bagian dari eskapisme, namun dengan sastra mereka berupaya pula mencerahkan orang lain (baca: pembaca) melalui apa yang mereka tulis. Sastra kini  tak lagi semata milik kaum “cendekia”, tak lagi menara gading para “elitis”.

Mereka  menyadari bahwa sastra bisa mencintai dan membawa mereka sebagaimana mereka mencintai dan membawa sastra. Karena itulah orang-orang seperti mereka, akhirnya turut peduli, bergerak melakukan semacam kampanye gerakan membaca dan menulis dan berbagai pelatihan yang menyentuh ragam lapisan masyarakat. Mereka yang telah menghasilkan karya nyata biasanya secara sukarela menjadi “mentor” bagi teman-teman yang belum memiliki karya[24].

Banyak pihak merasa apa yang saya lakukan bersama FLP adalah suatu perubahan sosial yang nyata dari sebuah gerakan sastra. Pihak lain mengatakannya sebagai perubahan sastra melalui gerakan sosial[25]. Dalam tulisannya yang juga menyinggung FLP ”Kemana Hala Tujuan Sastra Melayu?” DR. Moh. Zariat Abdul Rani dari University Kebangsaan Malaysia (2007), menyatakan, FLP bukanlah organisasi yang semata memproduksi karya sastra, melainkan harus dilihat sebagai gerakan di bidang budaya, sosial, dan pendidikan yang membawa perubahan sosial di Indonesia.

Tahun 2008, FLP mendapatkan Danamon Award dalam kategori organisasi nirlaba dan dianggap telah memberikan kontribusi signifikan terhadap masyarakat negeri ini selama satu dekade terakhir, serta disebut sebagai ”Pahlawan di Sekitar Kita” atau ”Pejuang Masyarakat.”[26]

Seperti yang dinyatakan Maman S. Mahayana,

 “Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!”[27]

 

Simpulan dan Penutup

You are what you write!

Sebagai anggota masyarakat, saya menyadari munculnya beragam perubahan dalam diri saya yang disebabkan oleh sastra. Perubahan pribadi tersebut kemudian menjadi dasar dari perubahan yang lebih luas dan melibatkan masyarakat. Perubahan tersebut sebagai berikut: (1) Perubahan diri saya, dari yang belum mengenal sastra menjadi keranjingan membaca karya sastra, (2) perubahan cara pandang saya dalam melihat, menilai dan menghadapi kehidupan dikarenakan– antara lain, karya-karya sastra yang saya baca, (3) perubahan kondisi dari pembaca menjadi penulis. Munculnya dorongan untuk menulis karya sastra, (4) perubahan-perubahan dalam skala tertentu yang dialami oleh para pembaca buku saya, di mana pun mereka berada (meski tentu saja banyak pula pembaca buku saya yang boleh jadi tak mengalami perubahan apapun setelah membaca buku saya). Perubahan pandangan atau sikap mereka juga menjadi pemicu untuk saya menulis lebih banyak dan lebih baik, (5) Perubahan sosial yang saya lakukan bersama FLP dalam budaya menulis sastra di Indonesia.

Sementara itu respon dan sikap saya sebagai pengarang terhadap problema sosial masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial antara lain:

(1) Berusaha untuk rutin membaca karya sastra sebagai salah satu hal yang bisa mengisi jiwa dan menyalakan nurani. Saya berusaha menjadi orang yang terus mencermati dan berempati terhadap sekitar serta meningkatkan wawasan terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakatnya.

(2). Berusaha selalu menulis dengan mengedepankan nurani, termasuk dalam hal ini mengangkat berbagai problema sosial yang terdapat dalam masyarakat dan mengemasnya dalam karya sastra yang berkualitas, yang bisa menggugah diri, lingkungan serta masyarakat[28].

(3). Berusaha melakukan sesuatu selain menulis yang dekat dengan dunia sastra yang saya tekuni. Dalam hal ini saya membentuk komunitas yang mewadahi berbagai kalangan, khususnya kaum muda dan masyarakat marjinal untuk mengajak mereka mencintai sastra dan memberi berbagai pelatihan menulis yang berkesinambungan yang di kemudian hari bisa menjadi skill guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Apa yang saya lakukan secara individu maupun bersama-sama ini diharapkan bisa menjadi solusi dari salah satu problema sosial dan budaya yang kita hadapi, yaitu maraknya pengangguran dan kaum miskin sekaligus sebagai siasat meningkatkan minat membaca dan menulis di negeri ini.

Tentu saya masih harus terus belajar, terus berproses. Dan saya sepakat dengan apa yang disampaikan penulis idola saya, Mohammad Iqbal, bahwa karya sastra yang baik haruslah memenuhi kaidah-kaidah sebagai berikut, (1) mampu membawa pembacanya pada kesadaran bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahluk spiritual, (2) sastra yang ideal adalah yang mampu memancarkan dimensi sosial dan dimensi transendental dalam kesatuan yang tak terpisahkan, (3) dalam proses penciptaan karya, seorang pengarang harus memadukan cinta, pengetahuan dan mengaktifkan akal serta hatinya, maka ia akan memperoleh ilham yang tinggi, (4) keindahan tertinggi dalam karya seni bukanlah keindahan estetis atau zahir, melainkan keindahan yang memancarkan hikmah, yaitu pengetahuan yang dapat membawa pembaca pada pencerahan kalbu, (5) sebagaimana Rumi atau Attar, sastrawan harus berperan pula sebagai guru kerohanian dan kemanusiaan di tengah masyarakatnya yang dilanda krisis dan kemunduran.[29]

Akhirnya, saya akan selalu ingat pesan singkat yang ditulis Putu Wijaya di notes saya saat saya bertemu dengannya pertama kali dalam seragam putih biru: “Helvy, Menulis adalah berjuang!” atau perkataan Taufiq Ismail tentang Sastra Dzikir. “Sastra itu harus bisa mengingatkan.” Hal-hal itu mempengaruhi arah penulisan saya. Dan mengutip Vaclav Havel, seorang pengarang harus hidup dan bergerak dalam kepedulian dan kebenaran, selamanya. Semoga!

 

Rawamangun, 1 April 2010

 

DAFTAR PUSTAKA

”Danamon Award 2008: Anugerah bagi Pahlawan di Sekitar Kita” Majalah Tempo, September-Oktober 2000

”FLP Berbagi Kiat Menulis” Koran Tempo, 21 Mei 2008

“Fenomena Forum Lingkar Pena”, Maman S. Mahayana, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007

“FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda,” Republika, 20 September 2002

“Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia,” The Straits Times, 28 Juli 2002

Hapsari, Twediana Budi. “Helvy Tiana Rosa, Sebuah Potret Pertarungan Idealisme dan Kapital dalam Perkembangan Sastra Kontemporer di Indonesia,” Depok, 17 Desember 2003

Hasjmy, A. 1984. Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah. Surabaya: PT Bina Ilmu

Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda“, Koran Tempo, Maret, 2003

“Helvy Tiana Rosa; Saat Beri Pelatihan”, Bom menggelegar, Tabloid Nova, 1 Februari 2004

Iqbal, Muhammad. 2000. Javid Namah: Ziarah Abadi. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

Kuntowijaya, “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sastra Transendental,” Makalah yang Disampaikan pada Temu Sastra di Taman Ismail Marzuki, 1982

Lila Fitri Aly: “Anak-Anak Itu Telah Menulis Buku”, Her World, Januari 2005

“Menyemai Bintang di Padang Ilalang; Tentang Regenerasi Sastra Indonesia”, Jamal D. Rahman, Makalah, Pertemuan Sastrawan di Singapura, 13 September 2003.

Rosa, Helvy Tiana (ed.), 2004. Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP, Jakarta:Lingkar Pena Publishing House.

Rosa, Helvy Tiana, 2003., Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil.

“Sayap-Sayap Pena Helvy”, Kompas, 29 September 2009

Syarif,  M.M.  1989. Iqbal: Tentang Tuhan dan Keindahan. Bandung: Penerbit Mizan

Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat Dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya

Watson, Paul. “Beneath The Burqah,” Los Angeles Times, 23 Februari 2007.

“Yuk Ke Rumah Cahaya!” Aisyah, 20 Mei 2004

http://helvytr.multiply.com

http://klubhelvy.multiply.com


1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Perubahan Sosial yang diadakan   Fakutas Sastra dan Seni Rupa,  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17 April 2010

[2] Pengarang, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.

[3] Kuntowijoyo, “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sastra Transendental,” Makalah yang Disampaikan pada Temu Sastra di Taman Ismail Marzuki, 1982

[4] Mohammad Iqbal, Javid Nama: ZiarahAbadi, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000,  hal. 8

[5] Ali Hasjmy, Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khaliah Allah, PT Bina Ilmu, Surabaya, hal. 20

[6] Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam Esei-Esei tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, Bandung, 2003, hal 51

[8] Agak mirip My Name is Khan, ya? Namun saya menulisnya lebih dahulu, tahun 1998.

[9] Annida dianggap majalah kecil dan terbatas untuk karya seperti “Jaring-Jaring Merah”, maka Tim redaksi Majalah Horison meminta naskah tersebut untuk dimuat kembali di Majalah Horison, setahun kemudian.

[10] 23 Februari 2007: “Beneath The Burqah”

[11] Jamal D. Rahman dalam makalahnya: “Menyemai Bintang di Padang Ilalang; Tentang Regenerasi Sastra Indonesia”, Pertemuan Sastrawan di Singapura, 13 september 2003.

[12]  Julukan terhadap FLP sebagai “mualaf sastra” dipopulerkan oleh alm. Penyair Benny R. Budiman di Bandung.

[13] Lila Fitri Aly: “Anak-Anak Itu Telah Menulis Buku”, dalam Her World, Januari 2005

[14] Maman S. Mahayana dalam makalahnya “Fenomena Forum Lingkar Pena”, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007

[15] Data yang disampaikan Sekjen FLP Rahmadiyanti dalam Silnas FLP, Juli 2008 di Depok.

[16] 20 September 2002: ”FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda.”

[17] 28 Juli 2002: “Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia”

[18] 30 Maret 2003: “Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda”

[20] 8 September 2009: “Sayap-Sayap Pena Helvy

[21] 1 Februari 2004: “Saat Beri Pelatihan, Bom Menggelegar”

[22] Kisah-kisah  menggugah dan mengharukan mengenai kegiatan dan para relawan FLP dapat dibaca pada buku Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP (Jilid I dan II), Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2004.

[23] Mei 2004: “Yuk Ke Rumah Cahaya!”

[24] 21 Mei 2008 : “FLP Berbagi Kiat Menulis”

[25]Twediana Budi Hapsari. “Helvy Tiana Rosa, Sebuah Potret Pertarungan Idealisme dan Kapital dalam Perkembangan Sastra Kontemporer di Indonesia,” Depok, 17 Desember 2003

[26] ”Danamon Award 2008: Anugerah bagi Pahlawan di Sekitar Kita”Majalah Tempo, September-Oktober 2008.

Dalam melakukan penilaian atas peserta, panel juri independen dan juri kehormatan Danamon Award 2009 melakukan penilaian terhadap 4 aspek yaitu dampak, cakupan, keterlibatan serta keberlangsungan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan. Para juri Danamon Award adalah: Prof. Dr. Sri Edi Swassono, Dr. Imam B. Prasodjo, Dr. Martani Hussaini, Rosiana Silalahi, Ade Suwargo Mulyo, Hendri Ma’ruf dan Ria Sidabutar,

[27] Maman S. Mahayana, Op.Cit.

[28] Tahun 2009 secara tidak disangka saya menjadi satu dari 15 tokoh muslim Indonesia yang terpilih sebagai 500 The Most Influential Muslims in The World hasil riset The Royal Islamic Strategic Studies Centre bekerjasama dengan Georgetown University. Buku tersebut dieditori oleh Prof. John L. Esposito dan Prof. Ibrahim Kalin.

[29] M.M. Syarif, Iqbal: Tentang Tuhan dan Keindahan, Mizan, Bandung, 1989, hal.35.

 

Leave a comment

Filed under Jurnal, Karya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s