Tamparan berkali-kali dari lelaki itu membuat tubuh Sih terhuyung-huyung. Perempuan itu jatuh terduduk di sudut kamar, setelah pelipisnya terbentur ujung lemari kayu yang lancip. Darah menetes dari sana, juga dari bibirnya yang seakan pecah.
Ayo, pukul lagi, Kas! Pukul lagi! Matikan aku! Matikan!
Suara itu menjelma raungan, tapi hanya mampu didengarnya dari bilik sanubari sendiri.
Kas mendengus. Cuping hidung lelaki tegap itu membesar dan napasnya terdengar begitu menderu. “Perempuan bodoh!” teriaknya sekali lagi sebelum ia membanting pintu.
Sih sudah tak punya airmata. Kebisuan kembali merengkuhnya. Ia rasakan sekujur tubuhnya menggigil. Ada dingin yang menyegat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap.
“Kita akan menikah, Sih. Kau yang paling perempuan di jagad ini. Aku tak akan melepaskanmu!“
Di mata Sih, senyuman Kas seperti lengkungan pelangi terbalik yang menghiasi cakrawala. Pendarnya menggetarkan pojok-pojok sunyi dalam galau diri Sih. Seperti juga Kas, pada waktu itu Sih tak pernah berpikir ada lelaki yang lebih sempurna, yang Tuhan cip- takan selain Kas. Kas hanya dapat dikalahkan oleh para Nabi, bukan oleh manusia biasa. Apakah yang tak dimiliki Kas? Ia mapan, keturunan baik-baik, berjiwa satria, tampan, pintar. Lelaki macam mana lagi yang diperlukan seorang perempuan selain yang seperti itu?
“Aku tetap akan menulis. Bukan untuk membantumu atau keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu, Mas…, adalah inspirasiku yang tak pernah habis,“ katanya beberapa hari setelah menikah.
Kas mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, menggoda Sih. Lesung pipitnya yang dalam tampak seketika. Lalu gemas ditekannya kedua pipi Sih dengan dua tangannya yang lebar dan kokoh. “Kau boleh melakukan apa saja, Cinta,” katanya bagai penyair pemula. “Tahukah kau? Aku menikahimu karena engkaulah pengarangku. Lagi pula, kalau kau ingin bekerja yang lain, silakan. Aku bukanlah seorang sipir dan rumah ini bukan penjara yang akan mengurungmu,” bisiknya kemudian di telinga Sih.
Lima tahun. Lima tahun Kas dan Sih berumah tangga. Sih merasakan kebahagiaan bagai air terjun yang menyerbu-nyerbu dirinya. Ia mengenali pelangi semesta yang sama, yang dimiliki semua manusia, berpindah hanya memendari rumah mungil mereka.
Sih tak pernah berhenti mengarang, sesuatu yang ditekuninya jauh sebelum ia bertemu Kas. Sementara Kas masih pegawai negeri di kecamatan.
Maka hari berkejaran di halaman waktu tak ubah kanak-kanak yang berlarian di lapangan luas tak jauh dari rumah mereka. Dan saat mata Sih melihat seorang anak terjatuh, ia merasakan kembali keroak luka di batinnya.
Betapa jauh berbedanya Kas kini dengan Kas yang dikenalnya bertahun lalu. Ia tak boleh salah bicara di depan Kas, tak boleh menunjukkan wajah yang murung bila tak ingin lelaki itu menghan- tamkan tangan yang dulu selalu dipakai membelai Sih, ke sekujur tubuhnya bertubi-tubi. Kadang tanpa alasan Kas menceracau, mencela, mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan menggelegar, yang menjadi sengatan-sengatan strum di batin perempuan itu.
Bicara atau tidak, tersenyum atau tidak di hadapan Kas, menurut Sih tak akan mengubah apa pun. Kas sebenarnya hampir pergi. Setapak lagi, ia akan pergi untuk selama-lamanya meninggalkan rumah mereka. Atau mungkinkah lelaki yang dicintainya akan mengusirnya?
Sih mendengar gelegar tawa yang nyelekit itu saat usia pernikahan mereka genap lima tahun. Kala ia bertanya pada Kas tentang perempuan itu. Ya, perempuan penari itu. Usai tertawa itulah secara tiba-tiba Kas menjambak rambutnya hingga tubuhnya limbung beberapa saat. Kas meninju mulut Sih hingga gigi depannya patah dua! Ketika itu hati Sih berdetak. Ia akan kehilangan Kas!
Apakah perempuan itu yang membuat Kas berubah?
Perempuan penari itu muncul di hadapannya dengan wajah mengejek, seolah berkata: Hei, suamimu yang mengejar-ngejar aku. Ia memohon cinta dan berlutut di kakiku. Apa yang telah kau lakukan hingga ia lari dari sisimu?
Ya, apakah? Mengapakah?
Sih kembali mengingat-ingat. Mungkin ia melakukan sesuatu yang salah atau menyakitkan Kas. Namun yang ia temukan hanya samudera cinta yang hampir menenggelamkan dirinya pada lara, lima tahun terakhir.
Kas berhubungan dengan perempuan penari yang ayu itu entah sejak kapan. Tetapi luka-luka cinta kian campang-camping dalam dirinya sejak lima bulan lalu, saat Kas hanya menyentuhnya dengan penuh kebencian.
Dan kini, salahkah ia bila menjalin hubungan dengan lelaki itu? Ya, lelaki dengan mata elang, yang selalu datang dan pamit dengan senyum berjuta kupu-kupu. Sih kerap merasa lelaki itu memiliki kemiripan yang banyak dengan Kas.
Beberapa hari ini mereka selalu berjumpa di taman itu. Taman rahasia atau taman putih, begitu Sih menyebut taman yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal Kas dan Sih. Di sana memang sepi. Teramat hening malah. Di sana juga putih. Sih sendiri tak mengerti mengapa taman itu seperti bersalju. Tapi di sana penuh pepohonan dan bunga-bunga sebagaimana seluruh taman di dunia ini. Kupu-kupu, burung-burung kecil melayang-layang. Beberapa diantaranya hinggap di ranting pohon yang coklat atau hijau pekat. Mereka menatap Sih dan lelaki itu seakan mau tahu apa yang mereka perbincangkan dan lakukan di taman hening itu. Ada yang berdesir. Angin rindu di hati Sri. Dan ia menikmati kerinduannya pada lelaki itu.
Sebelumnya selain kepada Gusti Allah, Sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah, ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satu pun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi Kas berpaling karena kerinduan yang mendesak terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya.
“Seorang perempuan dihargai karena banyak hal yang mem- buatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan, Sih. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti,“ kata lelaki itu padanya.
Sih memandang lelaki itu dan menikmati setiap ucapannya yang semilir. Ah, andai saja Kas yang berucap demikian. Bukankah Kas dulu pernah mengatakan hal yang hampir mirip?
“Sih…,“ tangan lelaki itu menyentuh. Sih ingin menggeser duduknya sedikit, tapi ia tak mampu. Burung-burung bercicit ramai di atas dahan-dahan pohon besar yang menaungi Sih dan lelaki itu. Bangku putih menyaksi. Lelaki itu mencium keningnya.
Aku berkhianat, bisik Sih. Tidak. Ya, aku berkhianat. Aku telah mencintai lelaki itu. Kau memang mencintainya, dia mencintaimu. Suamimu kasar, suka menganiaya. Suamiku selingkuh? Ya, di depan matamu. Jadi, kau dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu. Ia seperti Kas. Ia bukan Kas. Ia Kas.
“Aku menulis puisi untukmu, Sih,“ suara lelaki itu terdengar lagi.
“Puisi?“ lirih Sih.
Ia jadi ingat puisi terakhir yang ditulisnya untuk Kas. Puisi yang tak pernah sampai. Waktu itu ia melipat kertasnya bagai pesawat mainan dan menerbangkannya. Kertas puisi itu jatuh tak jauh dari rumah mereka. Sih baru ingin memungutnya, namun angin menerbangkan lagi bersama butiran pasir. Pasir-pasir menimbun kertas itu setengah hati dan tiba-tiba Sih tak peduli.
“Aku akan membacakannya untukmu,“ suara lelaki itu lagi.
Dan sekonyong-konyong Sih ingat bunyi puisi yang ditulisnya untuk Kas:
Meranggas darahku meranggas
dan bumi kering, langit pias
laut kita mati
Tandus berkarib sunyi
Semesta gering mengan tarku kembali padamu
menyelusup pada sejuk alir darah, denyut nadi
pada curahan keringatmu
tapi laut kita sudah mati
sudah mati….
“Bagaimana puisiku, Sih? Sukakah engkau? Apakah suatu hari nanti aku akan jadi pengarang sepertimu? Bagaimana menurutmu?“ Lelaki itu tertawa, menampakkan gusinya yang merah segar. Mengapa ia seperti Kas? Kas juga dulu ingin belajar menulis puisi dan cerita….
Sih merasa ada air hangat di matanya. Lalu air yang dingin menetes-netes membasahinya. Semakin deras.
“Hujan,“ suara lelaki itu. “Aku akan melindungimu dari hujan,“ ia membuka jaketnya, membentangkannya ke tubuh Sih. Sih mencium aroma tubuh yang sama dari lelaki dan jaket itu. Seperti aroma yang telah menyatu dalam dirinya bertahun-tahun.
“Aku akan melindungimu dari segala, juga dari suamimu,“ ujar lelaki itu lagi. “Aku akan membawamu pergi, Sih.“
“Haruskah aku pergi?“ gumam Sih. Pergi berarti ia meninggalkan Kas selamanya. Pergi artinya memberi kesempatan pada penari itu untuk memiliki suami dan rumahnya. Untuk memiliki ranjang mereka.
“Demi kau, demi kita,“ bisik lelaki itu. “Kau tak boleh bertahan dengan lelaki pemberang yang bisanya hanya memukulimu!“ Kali ini suara lembut itu mengeras.
“Aku ingin dilindungi. Aku ingin selalu dicintai…, aku ingin….“
“Aku akan mencintaimu selamanya, seperti aku mencintai surga[1],“ lelaki itu merengkuhnya. Mereka berjalan menuju pondok kayu di tengah taman hening, pondok yang dibangun lelaki itu dengan tangannya sendiri, untuk Sih.
Dingin.
Dalam dekapan dan gelora diri, Sih mengenali aroma itu. Ah, ia tak sanggup lagi untuk mengekalkan dusta. Air matanya merembes pada bantal di atas dipan. Sungguh, ia telah menciptakan sejuta lelaki di taman hening itu. Sejuta lelaki yang semuanya entah mengapa adalah Kas tapi tak sepenuhnya Kas. Lelaki-lelaki itu mengatakan mencintainya seperti surga. Kas tak pernah berkata seperti itu.
Sih beristighfar. Perlahan dihapusnya sisa-sisa airmata yang ada. Dengan gemetar jari-jari kurusnya mulai bergerak di atas mesin tik. Kas tak akan pulang lagi malam ini. Dan Sih, akan pergi ke tempat itu lagi. Ke taman hening.
Cipayung, Oktober 2000
[1] Dari puisi Abdurahman Faiz