Sosok Ibu dalam Intifadhah Karya Jehad Rajbi

Ibu Palestina

Tetapi anakmu niscaya akan membaca sejarah dengan mata ibunya, maka ia pasti akan menangis dan melemparkan batu-batu, apa pun resikonya…. (Kumpulan Cerpen Intifadhah, Jehad Rajbi, 1995: 102).

Jehad Rajbi adalah perempuan penulis yang lahir dan dibesarkan ditengah konflik peperangan berkepanjangan antara negerinya, Palestina, dengan Israel. Karya perdananya dibukukan pada tahun 1993 oleh Penerbit Filistin Muslimah. Namun di luar selusin cerpen dalam buku tersebut, Jehad yang berusia 20 tahun saat bukunya terbit, banyak menulis di beberapa media yang ada di Palestina. Kini selain Sahar Khalifah dan Liyanah Badr, Rajbi menjadi salah satu perempuan penulis yang diperhitungkan di Palestina (Yamani, ed. 2000).

Menurut para kritikus sastra Arab modern seperti Shovinaz Kazhim dan Elizabeth Mc Kee, selain kisah-kisahnya yang mencekam, Rajbi memiliki kelebihan pada bahasa dan gaya pengisahan yang menurut mereka mempesona dan filosofis. Rajbi dianggap mengandalkan karakterisasi pada kekuatan dialog yang cepat dan padat yang hadir bagai drama-drama satu babak (Herfanda: 2002).

Cerpen-cerpen dalam Intifadhah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Anis Matta dan diterbitkan Pustaka Firdaus (1995), semua memiliki tema yang sama, yaitu kecintaan terhadap tanah air (nasionalisme). Konflik yang terjadi juga bermuara pada persoalan yang sama mengenai ketertindasan bangsa Palestina dalam penjajahan Israel.

Rajbi memilih berbagai tokoh dalam Intifadhah. Dari mulai kanak-kanak, remaja, pemuda, pemudi, suami, istri, ibu sampai kakek dengan berbagai profesi dan kedudukan dalam masyarakat. Semua tokoh itu menyimpan berbagai konflik diri yang terbungkus dalam konflik tanah air mereka. Dari semua tokoh yang ada, sosok “ibu” dan “bocah” paling sering muncul dalam cerita.

anak palestina dan batu

Tulisan ini akan menelaah lebih lanjut sosok ibu dalam buku Intifadhah karya Jehad Rajbi dan menjawab pertanyaan mengapa tokoh itu menjadi sosok yang penting dalam cerpen tersebut. Apakah Rajbi terinspirasi dari kehidupan dan karakter para ibu dalam menghadapi konflik berdarah di Palestina? Apakah sosok ibu merupakan potret realitas atau sekadar harapan dalam gerakan intifadhah, dan sebagainya.

Sepanjang sejarah, bani Israel memang pernah menguasai Palestina sekitar empat abad, namun kekhalifahan Islam menguasainya selama 12 abad (636-1917M). Kontak bangsa Israel dengan Palestina sendiri telah terputus selama 18 abad (135-abad ke 20).

Pendirian organisasi zionis yang dimotori Theodore Herzl tahun 1897, menjadi permulaan pencaplokan kembali wilayah tersebut berangsur-angsur secara sistematis dengan terus menerus memasukkan orang Yahudi dalam jumlah yang sangat besar ke Palestina. Peristiwa itu bersamaan dengan mulai melemahnya kekhalifahan Turki Ustmaniyah (Shaleh, 2002).

Tulisan ini tak akan menguraikan kembali konflik klasik ratusan tahun yang dialami bangsa Palestina dan Israel menyangkut ‘tanah yang dijanjikan’ (Palestina) tersebut. Namun untuk dapat memahami cerpen-cerpen Jehad Rajbi terlebih dahulu kita harus memiliki wawasan tentang apa itu “intifadhah” dan kaitannya dengan Palestina, yang menjadi judul dan benang merah semua cerpen Jehad Rajbi dalam buku ini.

Dalam bahasa Arab, “intifadhah” berarti “yang mengguncangkan”. Secara umum “Intifadhah” adalah perlawanan warga sipil Palestina tanpa senjata terhadap tentara Israel. Intifadhah merupakan gerakan nasional yang dimulai serempak, 14 Desember 1987 dengan adanya demonstrasi besar-besaran di seluruh wilayah Gaza dan Tepi Barat yang melibatkan hampir seluruh rakyat Palestina, lelaki dan perempuan, dari berbagai golongan umur. Demonstrasi tersebut dipicu oleh tewasnya beberapa buruh Palestina yang ditabrak secara sengaja oleh tentara Israel ketika mereka sedang bekerja pada 9 desember 1987 (Deedat, 1991).

Saat itu juga dideklarasikan Hamas (Harakah al Muqawamah al Islamiyah). Hamas dipimpin oleh Ahmad Yasin, lelaki yang semua anggota badannya, kecuali kepala, lumpuh dan tak bisa digerakkan akibat penyiksaan tentara Israel. Organisasi yang mandiri ini yang kemudian banyak mengorganisir gerakan Intifadhah. Menurut pernyataan juru bicara resmi Hamas, sejak Desember 1987 sampai tahun 2001 Hamas dan Intifadhah telah mempersembahkan sekitar 1000 syuhada (termasuk anak-anak dan perempuan) dalam upaya memerdekakan Palestina (Shaleh: 105).

Intifadhah sebagai gelombang gerakan rakyat yang menuntut kemerdekaan tampak jelas dalam buku Jehad Rajbi ini. “Pengasingan”, “Siksaan”, “Peluru ini Untuk Siapa?”, “Orang-Orang Deportan”, “Kami Bukan Orang Asing”, “Darah Hitam”, “Waham dan Amarah”, “Pencuri”, “Tanah Air ini Lebih Besar dari Air Mata Mereka”, “Ahmad Izzudin Tidak Lolos Sensor” sampai cerpen “Ketika Kota itu Tertidur” menyampaikan pesan perjuangan Intifadhah secara eksplisit maupun implisit, meski para tokoh tersebut berada dalam kondisi ketakberdayaan.

“Pengasingan” dan “Siksaan” sebenarnya bukan dua cerpen yang berbeda. “Siksaan” menjadi semacam cerita lanjutan dari “Pengasingan”. Tokoh Muhammad pada cerita tersebut dipenjara oleh tentara Israel karena aktivitasnya dalam gerakan perlawanan Palestina (Intifadhah). Para interogator mencoba mengorek darinya nama-nama lain yang mungkin untuk diasingkan dan dipenjarakan pula. Muhammad bersikeras tak mengatakannya meski ia disiksa terus menerus dalam penjara. Akhirnya para interogator mengancam keselamatan keluarga besar Muhammad di Gaza, bila Muhammad tak mau bekerjasama. Namun Muhammad masih bergeming.

Karena telah kehabisan akal, para interogator pun berinisiatif menghadirkan ibu Muhammad untuk melemahkan hati Muhammad. Yang terjadi kemudian, dalam pelukan dan linangan airmata ibunya, Muhammad malah bertambah kuat, bahkan meski akhirnya ia harus kehilangan ke dua kakinya.

“Biarkan Aku Jadi Orang Palestina” (BAJOP) berkisah tentang suami istri (fotografer dan jurnalis asal Amerika) yang meliput situasi Palestina-Israel. Dalam perjalanan liputan tersebut mereka menyaksikan kepedihan yang dialami rakyat Palestina. Albert dan Cathy merasa terpukul saat menyaksikan sendiri bocah-bocah Palestina melempar batu ke arah tentara Israel disambut para tentara itu dengan hujan peluru.

anak gaza

Suatu hari, Albert tak tahan lagi. Ia mencoba membela bocah Palestina yang dianiaya tentara Israel. Akibatnya ia luka parah. Menghadapi itu semua, Cathy yang disuruh pulang ke Amerika oleh suaminya semakin bersikeras untuk meliput anak-anak itu. Ia bertemu dengan seorang bocah dan tiba-tiba merasa bahwa ia memiliki jiwa seorang ibu dan menganggap bocah itu sebagai anak yang membutuhkan kasih sayang ibu. Saat melihat bocah yang sempat diajaknya bercakap-cakap dikejar tentara Israel bahkan kemudian dilindas tank baja mereka, Cathy histeris. Ia mulai mengambil batu-batu dan melemparkannya pada para tentara Israel seraya berteriak, “Biarkan aku jadi orang Palestina!”

Dalam “Peluru ini Untuk Siapa” (PiUS) tokoh bernama Muhammad adalah seorang tentara Palestina yang telah lama ditugaskan berjaga di perbatasan Tepi Timur. Setiap hari ia memikirkan nasib anak-anak Palestina yang melakukan intifadhah (melempar para tentara Israel dengan batu-batu) harus menghadapi peluru dan tank-tank tentara Israel. Ia teringat pada keluarganya di Tepi Barat, terutama pada ibunya. Maka setiap hari ia menulis surat pada ibunya meski ia tahu ibunya seorang yang buta huruf. Ia bertekad untuk kembali ke Palestina, pulang ke pangkuan ibunya dan membacakan semua surat yang telah di tulisnya di perbatasan tersebut. Sayang, Muhammad tewas sebelum dapat mencapai keinginannya. Namun Abdul jabbar sahabatnya bertekad melanjutkan perjuangan dan segera kembali ke Palestina.

Dalam “Orang-Orang Deportan” (OOD) tokoh Murad yang dideportasi ke perbatasan di luar negerinya bersama tak terhitung orang Palestina, tinggal di kemah-kemah kumuh dalam keadaan kelaparan dan kedinginan. Dalam kerinduan yang menggelegak terhadap tanah airnya, ia sempat terkenang akan ibunya yang senantiasa sabar dan berwajah gembira, namun meninggal pada malam pengantin Murad. Di akhir cerita Murad bertekad berjalan kaki kembali ke Palestina menyusuri perbatasan meski ia tewas disambut puluhan peluru tentara Israel.

batu2

“Kami Bukan Orang Asing” (KBOA) bercerita tentang tokoh Rimah dan ibunya dalam perjalanan menuju desanya di Ariha (Jericho) setelah sekian lama kondisi memaksa mereka tinggal di perbatasan Timur. Dalam perjalanan tersebut terjadi banyak dialog antara Rimah dan ibunya mengenai tanah air mereka, mengenai al Quds, juga mengenai permintaan ibunya agar ia tak mencari gara-gara dengan para tentara Israel. Selain itu perjalanan tersebut juga membuat Rimah mengingat fragmen-fragmen kekuasan Israel atas seluruh penduduk Palestina, termasuk para kanak-kanak. Juga konflik diri akan kebanggaan, keterasingan, penderitaan dan cinta yang dirasakannya atas tanah airnya.

Cerpen “Darah Hitam” (DH) mengisahkan anak berusia tujuh tahun bernama Amru yang terus menerus menanyakan keberadaan dan kekuasaan orang-orang Yahudi atas tanah airnya, Palestina. Amru dan orangtuanya terpaksa tinggal di perbatasan Palestina karena tak diizinkan masuk ke Palestina oleh para tentara Israel. Pada usia semuda itu, Amru sering melihat kekejaman tentara Israel terhadap kaum perempuan dan anak seusianya, melalui televisi. Ia pun membenci orang-orang Yahudi dan bertekad untuk kembali ke tanah airnya untuk menghadapi mereka suatu saat nanti.

Cerpen ini banyak menampilkan dialog antara tokoh ibu dengan anaknya Amru tentang Palestina, orang Yahudi, tanah air dan kebencian. Ibu Amru berusaha menjelaskan kepada Amru kondisi yang terjadi dengan bahasa kanak-kanak. Namun ternyata cara pandang Amru terhadap kaum Yahudi yang menjajah negerinya telah melampaui usianya yang baru seumur jagung itu. Di akhir cerita, kemarahan anak usia sekolah dasar itu membuatnya tak bisa membedakan apa yang ada di hadapannya dan yang terjadi di televisi. Suatu ketika saat televisi kembali menayangkan berita keagresifan para tentara Israel dalam menangkap dan menyiksa bocah Palestina. Amru histeris. Ia ‘menghajar’ dan ‘membunuh’ para tentara tersebut.

anak palestina

Cerpen “Waham dan Amarah” (WdA) berkisah tentang kakak beradik Ammar dan Muhammad. Karena melawan tentara Israel dengan batu, Ammar masuk penjara. Kakaknya, Muhammad sebelumnya pernah pula berada di penjara Israel namun kemudian dibebaskan karena mau berdamai dengan Israel dan memberikan informasi-informasi yang mereka butuhkan.

Ammar, memilih dipenjara dan disiksa demi perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Sementara itu sahabatnya, Abdul Qadir yang tak kuat menjalani penyiksaan memberi semua informasi mengenai kegiatan Ammar pada tentara Israel yang kemudian membebaskannya. Tapi darah ibunya yang berceceran di halaman depan masjid al Aqsha menguatkan tekad Ammar untuk bertahan dalam penyiksaan, meski ia harus mengalami kelumpuhan akibat penyiksaan yang bertubi-tubi itu.

Dalam “Pencuri” lagi-lagi Rajbi menceritakan seorang pemuda, guru sekolah, bernama Amir yang digelandang menuju penjara. Dulu, Amir adalah pemuda yang banyak membaca dan membenci konflik yang ada di tanah airnya. Pengaruh buku-buku luar negeri yang dibacanya membuatnya ingin turut serta mendamaikan situasi dan berpikir agar semua kepentingan bisa diakomodir.

Amir mulai bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan membenci mereka yang melakukan intifadhah. Namun kenyataan di depan matanya membuat ia berubah sikap. Pasukan Israel menutup sekolah-sekolah, juga sekolah tempat ia mengajar selama ini. Anak-anak Palestina tak diperbolehkan memegang pulpen, hingga sebagai gantinya mereka menggenggam batu (melakukan intifadhah). Amir terus melihat kebiadaban tentara Israel atas perempuan dan kanak-kanak Palestina, termasuk Aisyah adiknya yang tewas di tangan mereka dan ibunya yang menjadi buta akibat banyak menangis.

Dialog-dialog Amir dengan pamannya, membuat Amir berpikir bahwa agar tak dilindas penjajah selamanya, tak ada jalan lain kecuali berjuang. Ia tak ingin seperti orang yang mengetahui rumahnya kemasukan pencuri namun ketika pencuri itu bersikeras tak mau pergi, ia pun menawarkan perdamaian, dan membagi rumah dua rumahnya dengan pencuri tersebut. Lalu berkata pada keluarganya bahwa hidup adalah hak semua orang termasuk pencuri itu. Demikian, akhirnya ia pun ditangkap, mengalami penyiksaan dan tewas di penjara dengan keyakinan penuh akan perjuangan untuk membebaskan tanah airnya.

“Tanah Air ini lebih Besar dari Airmata Mereka” (TAiLBdAMM) menceritakan tokoh yang ingin bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke kepalanya sendiri. Tokoh ini tak kuat lagi menanggung semua penderitaan yang disaksikan dan dirasakannya di Palestina termasuk melihat tubuh ringkih ayah dan ibunya yang menggigil karena kedinginan, kelaparan dan ketakutan. Tokoh ini sebelumnya pernah di penjara karena turut serta dalam intifadhah. Tapi kemudian ia dibebaskan setelah ia berkenan menyebut beberapa nama temannya yang lain. Penyebutan nama-nama itu kemudian membuat tokoh tersebut menyesal, karena sahabatnya Mahmud, dijemput dan kemudian dipenjarakan oleh tentara Israel. Ia sudah hampir bunuh diri saat adik Mahmud, seorang bocah berusia sepuluh tahun, mengetuk pintu rumahnya. Adik Mahmud mengulang perkataan ibu Mahmud bahwa karena si tokoh, Mahmud dipenjara. Namun adik Mahmud tak percaya dan meminta sang tokoh mengajaknya berjuang bersama membebaskan Palestina. Tokoh yang hingga akhir tak diberinama oleh pengarangnya itu pun tak jadi bunuh diri dan bertekad berjuang kembali bersama adik Mahmud yang telah menyalakan semangatnya kembali untuk membela negeri.

penjajahan atas palestina

“Ahmad Izzudin Tidak Lolos Sensor” (AITLS) bercerita tentang seorang penulis bernama Ahmad Izzudin yang kemudian tak lagi bisa mempublikasikan karya-karya idealisnya nya di media akibat tak lulus sensor. Tadinya ia sempat berputus asa, namun kemudian ia bertekad untuk terus menulis meski tulisannya hanya bisa ia sebarkan sebagai pamflet kepada orang-orang di rumah maupun masjid yang ditemuinya.

Cerita terakhir dalam buku ini, “Ketika Kota Itu Tertidur” (KKiT) menjadi cerita yang paling sulit dicerna karena konflik bercabang dan simbol-simbol yang dimunculkannya. Rajih, politikus, yang telah memiliki anak dan istri berpikir untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi negerinya. Meski tak didukung oleh istri maupun adiknya Yaser, ia merasa ‘jalan’ itu adalah jalan yang terbaik. Namun istrinya berpendapat Rajih hanya akan celaka bila tidak ‘mengikuti arah angin’ dan ‘melawan arus’. Sementara sesuatu yang dilakukan Rajih berakibat tali silaturahim antara ia dan saudara-saudaranya terputus.

Berbagai kenangan tentang keluarga dan negerinya membuat suatu hari ia singgah di rumah tempat ia dibesarkan. Ia seperti melihat kembali ibunya menambal kaos kaki wol milik dirinya dan memberinya nasehat: “kalau kamu berjalan telanjang kaki, tentu sepatu kamu tak akan robek.” Saat itu ia bertemu Yaser adiknya, setelah sekian lama tak bertemu. Yaser mengingatkannya lagi bahwa ia tak mungkin berjuang sendirian. Jalan yang paling tepat ditempuh saat ini hanyalah intifadhah. ‘Arus’ itu.

Sepulangnya dari rumah kenangan yang kini sepi itu, Rajih bertemu keponakannya Sa’ad yang sempat melihat dari jauh bahwa kedua pamannya telah berbaikan. Melalui Saad pembaca diinformasikan bahwa ibu Rajih (nenek Sa’ad) telah lama meninggal, sebelum Sa’ad lahir. Pada kesempatan itu, Sa’ad berkata bahwa ibunya (adik Rajih) sangat merindukan dan selalu berdoa untuk Rajih.

Di akhir cerita, Rajih seperti disadarkan bahwa sudah saatnya kotanya, tempat Al Quds berada bangkit dari tidur. Ia seperti melihat kembali bayangan ibunya sedang menambal kaos kaki wolnya sementara ia membersihkan senjata di teras rumah, sambil tersenyum pada ibunya.

Kecuali AILTS, semua cerpen dalam Itifadhah menyebut kata ‘ibu’ dan ‘bocah’ atau ‘anak’. Beberapa di antaranya menjadikan mereka sebagai tokoh utama, beberapa tidak, namun pengaruh keberadaan ‘ibu’ atau ‘bocah’ tersebut sangat dirasakan menjiwai cerita secara keseluruhan.

Hampir semua tokoh kanak-kanak dalam cerita adalah tokoh-tokoh yang menderita namun memiliki kekuatan, kebijakan dan tindakan yang seringkali melebihi orang dewasa. Seperti kata Rajbi: Di al Quds engkau dipaksa menjadi dewasa (KBOA: 72). Kanak-kanak itu dalam gerakan Intifadhah dianggap sebagai pahlawan rakyat Palestina meski bisa jadi pembaca menganggapnya sebagai pahlawan yang kadang (mati) konyol belaka.

Ada dua macam tokoh ibu yang tampil dalam Intifadhah karya Jehad Rajbi ini. Yang pertama sosok ibu yang heroik dan mendukung perjuangan intifadhah yang dilakukan anak-anaknya, yang selalu menunjukkan tempat-tempat yang banyak menyimpan pecahan batu (BAJOP: 35). Sosok ibu yang seperti ini terdapat dalam “Pengasingan”, “Siksaan”, BAJOP, WdA, “Pencuri”, OOD dan KKiT.

Yang ke dua adalah ibu yang takut kehilangan anaknya setelah sebelumnya ia kehilangan anggota keluarganya yang lain, seperti pada PiuS, KBOA, DH, TAiLBdAMM. Tokoh ibu di sini senantiasa mengingatkan sang anak agar berhati-hati dan tidak mencari perkara apa pun dengan Yahudi sebab bahasa yahudi adalah peluru (KBOA: 64).

Berdasarkan teks, kita dapat melihat bahwa ada tujuh cerita yang menampilkan ibu sebagai sosok yang berani, tegar dan menjadi pemberi semangat jihad bagi anaknya untuk terus berjuang merebut kemerdekaan Palestina. Tak semua tokoh ibu ini hidup, beberapa di antaranya digambarkan syahid akibat perbuatan tentara Israel yang tak malu menyerang wanita dan anak-anak. Ibu-ibu seperti ini tidak digambarkan sebagai ibu yang tanpa airmata, namun justru sering menangis. Namun linangan airmata bercampur senyuman yang menghimpun kata tak terucapkan itu malah semakin menguatkan anaknya, seperti yang ditunjukkan pada cerpen “Pengasingan” dan “Siksaan”.

Dalam cerpen tersebut sang interogator berkata pada interogator lain yang merupakan atasannya dalam penjara tersebut: “Percayalah, pak. Sekali ia melihat ibunya, perlawanannya pasti makin kuat….” (Siksaan: 21). Namun atasannya berkata: Teruskan menyiksanya. Saya ingin ibunya melihatnya menjadi bayang-bayang.” (Siksaan: 21). Setelah bertemu ibunya, Muhammad, tokoh utama cerita ini malah berkata: “Sorotan mata kami adalah kuburan bagi kalian!” Suatu perkataan yang kian menunjukkan ketegarannya.

Dalam BAJOP, interaksi jurnalis Cathy secara terus menerus dengan bocah-bocah Palestina yang teraniaya, membuat ia menjelma menjadi ‘ibu’ yang berjuang bersama ‘anak-anaknya’ dengan turut melemparkan batu pada para tentara Israel itu sebagaimana yang dilakukan oleh ibu anak-anak tersebut. Sementara pada OOD, bayang senyum sabar ibu Murad menjadi kekuatan yang membawa Murad berani melintasi perbatasan.

WdA menampilkan Ammar, pelaku intifadhah yang tegar dalam penyiksaan di penjara karena senantiasa teringat akan ibunya yang dengan bangga selalu mengulang cerita bahwa ayah Ammar adalah seorang serdadu negeri yang gagah berani menghalau musuh hingga ajal menjelang. Ayah Ammar dibunuh oleh tentara Israel dan sang ibu bahkan bersumpah untuk membunuh orang yang telah menghabisi nyawa suaminya, di depan Ammar. Namun perempuan itu malah dibantai tentara Israel di depan al Aqsho. Meski tak pernah tahu di mana ayahnya dikubur semangat berani syahid membela negeri yang ditanamkan ibunya kemudian, merasuk dalam dirinya.

Dalam “Pencuri” salah satu tokohnya berkata tentang kriteria orang yang bersalah atas tragedi Palestina. Menurut tokoh tersebut, “semua yang menanam airmata di mata ibuku bersalah.” Tokoh utama Amir dalam “Pencuri” mendapat kekuatan menghadapi penyiksaan yang bertubi-tubi dalam penjara, lagi-lagi justru karena terkenang akan airmata ibunya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kecewa dan sakitnya sang ibu bila ia lemah dan tak lagi berjuang.

demonstran palestina

Tokoh Rajih dalam KKiT masih terperangah kala ia mengenang ucapan ibunya yang telah meninggal. Waktu itu ibunya sedang menambal kaos kaki wolnya, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:
“Kalau kamu berjalan telanjang kaki, tentu sepatumu tidak akan robek,” kata ibunya.
“Sudah kukatakan, sepatu itu memang sudah robek.”
Ibunya meletakkan jarum kemudian berkata dengan getir, “Allah benar-benar merahmati hari-hari kami, Rajih. Dulu kami sengaja berjalan di atas duri supaya sepatu-sepatu kami tidak robek.”
Seketika mata Rajih terbelalak mendengar ucapan ibunya. Ia benar-benar terperangah. Dalam keadaan tak percaya ia bertanya, “Ibu membiarkan kaki ibu terluka hanya agar sepatu ibu tak robek?”
Sesaat ia mengangkat kepalanya, mengamati orang-orang yang lewat sambil merenung. Kemudian berkata dengan nada mencibir yang getir: mereka semua membiarkan kaki mereka terluka agar sepatu mereka tidak robek. (KKiT: 127)

Tokoh ibu menyampaikan pada Rajih agar mampu bertahan menghadapi rintangan apa pun (duri) yang ada pada jalan kehidupan ini, meski dengan apa adanya (kaki telanjang). Bahkan keyakinan/pijakan (sepatu) dalam melalui rintangan itu jangan sampai terkoyak. Lebih baik terluka namun hidup menghadapi rintangan dengan keyakinan teguh tinimbang menjalani kehidupan dengan keyakinan yang compang camping. Itu pula pesan ibu anak-anaknya: Sofia yang meminta suaminya untuk mengikuti arus perjuangan rakyat (intifadhah, bukan berjuang melalui politik). Juga yang menjadi kerinduan dan doa dari ibu Sa’ad (adik perempuannya).

Sebaliknya, dalam PiuS, ibu dari tokoh Muhammad, meminta Muhammad melupakan niat untuk pulang demi keselamatan diri anaknya itu. Bahkan melalui suratnya, Muhammad meneguhkan ibu yang dicintainya, di antaranya dengan kalimat seperti di bawah ini:

“Andaikata ibu tahu betapa lezatnya menangis di balik kawat-kawat berduri, di tengah auman kematian pasti ibu akan membunuh ketakutan dan segera mengikutiku. Agar kita bisa berdua di sini. Aku, ibu menyatu dengan mimpi-mimpi kita….” (PiuS: 41)

Dalam cerpen DH, tokoh ibu secara bijak berusaha memadamkan amarah dan benci yang dirasakan anaknya setiap kali bocah tujuh tahun tersebut menonton televisi dan melihat penganiayaan yang dilakukan tentara Israel terhadap kanak-kanak Palestina seusianya. Dengan bahasa anak-anak yang diselingi bahasa keteduhan seorang ibu, sang ibu berusaha menetralisir semua gejolak tersebut, namun anaknya memilih untuk mempercayai apa yang dilihatnya di televisi dan dibicarakan oleh teman-temannya di sekolah, daripada perkataan ibunya sendiri.

Tokoh Rimah dalam KBOA menanam kebencian yang sama terhadap pasukan Israel yang dilihatnya berkeliaran di setiap tanah di negerinya, saat ia baru pertama kali menjejakkan kaki di Palestina. Namun ibunya menyuruh Rimah—yang lahir bukan di Palestina itu–untuk selalu menahan diri dan tidak terlibat dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap kaum Yahudi, karena Yahudi selalu menggunakan bahasa peluru. Kecemasan-kecemasan ibunya selalu membayangi Rimah selama ia berada di tanah kelahiran kedua orangtuanya tersebut, yang sudah dianggapnya sebagai tanah tumpah darahnya pula.

Di luar teks cerpen, menarik dikaji peran para perempuan, termasuk kaum ibu Palestina dalam konflik Palestina Israel. Kenyataannya banyak yang mendukung juga turut melakukan intifadhah seperti yang tergambar dalam tujuh dari selusin cerpen Rajbi dalam Intifadhah. Lebih dari apa yang dikemukan Rajbi dalam bukunya itu, ternyata kaum ibu bukan saja merelakan anak-anak mereka mengikuti gerakan intifadhah, namun tak sedikit yang merelakan anaknya melakukan ‘bom perjuangan’ atau yang sering disebut pers sebagai ‘bom bunuh diri.’

Perempuan pertama Palestina yang meledakkan dirinya adalah Wafa’ Idris pada 27 Januari 2002, di Jerusalem Barat. Kesedihan di mata ibu Wafa nyaris tertutup oleh kebanggaan yang ditampakkan sang ibu di televisi yang terus meneriakkan kalau anaknya— yang berhasil menewaskan beberapa tentara Israel dalam peledakan tersebut— adalah salah satu pahlawan sejati yang dimiliki Palestina (Nur, 2002).

Sementara itu, Othman, mahasiswa asal Hebron yang mendapat beasiswa ISRA untuk program doktoral di Institut al Maktoum, Abertay University, Dundee, Scotland — dan pernah lima kali ditahan tentara Israel—mengatakan bahwa seseorang tak harus melakukan kesalahan untuk bisa ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh tentara Israel. Karenanya ia menambahkan, banyak ibu di Palestina yang malu bila anak lelakinya tak pernah ditangkap sekali pun oleh tentara Israel (Muthmainnah, 2002).

wilayah palestina semakin kecil

 

 

 

 

 

 

(Helvy Tiana Rosa, dalam buku Segenggam Gumam, Penerbit Syaamil, 2003)

Bahan Bacaan
Deedat, Ahmed. 1993. Dialog Islam dan Yahudi. Jakarta: Pustaka Progresif.
Herfanda, Ahmadun Y. 2002. “Cerpen-Cerpen Jehad Rajbi: Catatan Getir dari Palestina.” Jakarta: Annida no. 18/IX, 5 Juni 2002
Muthmainnah. 2002. “Pemuda Palestina, Kampus dan Penjara.” Jakarta: Annida no. 18/IX, 5 Juni 2002.
Nur, Ferry. 2002. “Perjuangan Wanita Palestina”. Jakarta: Annida no 18/IX, 5 juni, 2002.
Rajbi, Jehad. 1995. Intifadhah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shaleh, Muhsin Muhammad. 2002. Palestina: Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi. Jakarta: GIP.
Yamani, Mai (ed). 2000. Feminisme dan Islam. Jakarta: Yayasan Adikarya Ikapi.

1 Comment

Filed under Jurnal, Karya

One response to “Sosok Ibu dalam Intifadhah Karya Jehad Rajbi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s