Bertahanlah Seperti Mas Gagah! (Juara I Lomba Menulis Pengalaman ‘Aku & Kisah KMGP’)

(Mia Cisadani, Juara I Lomba Menulis Pengalaman: Aku dan Kisah KMGP)
15310594_1115420785241472_1272545433_nAktif mengikuti kegiatan sosial mungkin ditularkan orang tuaku. Meski di perantauan, kebiasaan itu masih sering kujalani. Dari kegiatan sosial itu aku menemukan pengalaman batin yang luar biasa. Sudah memasuki tahun ke dua, aku menjadi sukarelawan di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendampingi narapidana anak-anak. Ya, Lembaga Pemasyarakatan adalah istilah halus untuk menyebut penjara. Mendengarnya saja membuat kita bergidik ngeri. Awalnya pun aku berpikir demikian.

Maraknya tindakan kriminal yang melibatkan remaja, cukup membuat hatiku miris. Mulai dari perkelahian, pencurian, asusila bahkan sampai pembunuhan. Ya Allah.. Salah siapakah ini? Murni salah anak-anak itu kah? Atau mereka juga sebenarnya korban? Korban pendidikan yang hanya berpatokan dengan angka-angka pada buku raport, tapi miskin dengan pengembangan budi pekerti, korban ketidakadilan, korban broken home, atau korban pergaulan bebas.

Ah, rasanya tidak akan menemukan apa-apa jika hanya mencari siapa yang salah. Usia mereka masih dibawah 17 tahun. Masa depan mereka masih sangat panjang. Aku lebih tertarik mencari solusi untuk membenahinya sedikit demi sedikit. Sehingga ketika mereka bebas nanti, memiliki kemampuan dan wawasan lebih.

Tak henti-henti kuucapkan syukur pada Allah. Aku terlahir dari keluarga yang tidak kekurangan suatu apapun. Baik dari segi materi, kasih sayang, pendidikan maupun agama. Mungkin, jika aku terlahir dari keluarga yang berantakan, belum tentu aku bisa menjadi seperti saat ini.Teringat ketika Ibu menemaniku belajar, mengajariku berbagai keterampilan dan mendaftarkan les ini itu untuk menggali bakatku yang bisa dikembangkan. Sekarang, aku ingin menularkan kasih ibu pada remaja-remaja yang kurang beruntung itu.Mungkin caraku membimbing mereka tidak sesempurna cara ibu membimbingku. Aku berusaha menyelami kondisi kejiwaan remaja seperti mereka. Untuk itu, aku banyak mencari referensi dari buku dan internet.

Mendekam di dalam penjara bukanlah situasi yang menyenangkan. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun mereka harus tinggal jauh dari keluarga. Ketika teman seusia mereka bersekolah, mereka harus meringkuk dalam ruangan sempit dan berbagi ruangan dengan 10-15 orang lainnya. Bentuk kegiatannya kurancang dapat menghibur, memotivasi sekaligus menambah wawasan dan ada unsur pencerahan. Selain itu, yang menjadi prioritas utamaku adalah membuat kegiatan positif yang bisa mereka lakukan tanpa kehadiranku. Kucari tahu kegemaran mereka. Ada yang gemar bermain musik, olahraga, membuat kerajinan tangan, bahkan menulis. Baru setahun ini aku termotivasi belajar menulis dari mereka.

“Mbak, punya buku bagus?” tanya salah satu dari mereka pada suatu hari.

Ternyata ada yang gemar membaca. Kupilihkan novel remaja yang mengandung unsur motivasi. Novel yang pertama kali kupinjamkan tentang kisah seorang pemuda tuna netra yang bersemangat sekolah dan berprestasi. Novel tersebut diangkat dari kisah nyata penulisnya. Seminggu kemudian, dua anak sudah membaca novel tersebut sampai habis.

“Mbak, punya novel lagi nggak? Yang bagus seperti novel kemarin.katanya.

Sebenarnya koleksi novelku cukup banyak. Hanya saja ada di kampung halaman. Ketika aku pindah tidak kubawa. Sedangkan saat ini, aku banyak membeli buku parenting untuk menunjang kegiatanku mengelola tempat les. Sebenarnya isinya bagus sih, tapi anak-anak mana mau baca buku yang ditujukan untuk orangtua itu. Bisa-bisa mereka kehilangan minat untuk membaca. Jangan sampai deh…

Karena itu, aku langsung berburu ke toko buku. Kutelusuri rak-rak yang berisi buku tersebut. Kenapa banyak sekali novel yang bercerita tentang percintaan ramaja? Oh, tidak.. Anak-anak banyak yang tersangkut masalah hukum karena pergaulan dengan lawan jenis yang melampaui batas.

Mataku tertuju pada buku berjudul, “Ketika Mas Gagah Pergi.” Sebenarnya aku sudah sering mendengar judul itu ramai dibicarakan di dunia maya, tapi belum pernah membacanya. Kulihat tulisan, “Segera difilmkan.” Hmm.. berarti bagus. Nama pengarangnya sudah tidak asing. Buku itu masih dibungkus plastik. Dari judulnya, kupikir buku itu bercerita tentang kisah wanita tangguh yang terpaksa ditinggal oleh suaminya. Ya sudah, aku beli saja. Karena aku juga suka membaca buku tentang wanita dan kehidupannya. Niat membeli buku untuk remaja kutunda dulu karena belum menemukan buku yang cocok.

Saat membaca cerpen yang berjudul ‘Ketika Mas Gagah Pergi’, perasaanku bercampur aduk. Tak terasa menetes air mataku. Aku merasa Mas Gagah berdiri bersamaku. Menguatkanku dalam membimbing anak-anak di Lapas. Jujur, membimbing mereka bukanlah hal yang mudah. Bayangkan, aku berdiri seorang diri diantara tiga puluhan remaja bermasalah. Tak ada yayasan manapun yang menyokong. Yaaah, untuk kegiatan bersifat sosial, jarang yang tertarik. Ngapain? Buang-buang waktu dan tenaga, tidak ada untungnya. Pasti kebanyakan berpikir begitu. Tapi, sosok Mas Gagah mampu menguatkanku untuk tetap semangat dalam menghadapi kenakalan mereka. Ketika kubayangkan Allah tersenyum melihatku bersusah payah merangkul anak-anak bermasalah itu, lelahku terbayar sudah.

Ternyata, buku KMGP sarat dengan konflik kehidupan. Mungkin sama dengan kehidupan keras yang dialami anak-anak itu. Hanya saja, mereka menyikapi segala persoalan hidup dengan cara yang keliru. Andai saja bisa meneladani keteguhan iman seperti yang dihadirkan melalui tokoh-tokoh tersebut, mungkin tidak akan terperosok. Nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah terjatuh. Kini saatnya, kuulurkan tangan, membantu mereka untuk bangkit. Sebelum kupinjamkan, buku itu kubaca berulang-ulang. Sampai tiga kali.

Alhamdulillah… ada lima anak yang tertarik. Mereka membaca bergiliran. Sedangkan yang lain masih belum tertarik. Mungkin karena dulu sewaktu diluar, memang tidak gemar membaca. Aku selalu berdoa agar mereka dapat menangkap hidayah yang Allah berikan.

Ketika Ramadhan tiba, kuingatkan mereka untuk puasa. Keadaan di Lapas yang serba memprihatinkan ternyata belum menggugah keimanan mereka untuk puasa. Dari sekian banyak anak, hanya lima anak yang berpuasa penuh. Dan anak-anak itu adalah yang membaca KMGP. Alhamdulillah.. Harapanku tumbuh kembali. Ketika kutanya apa yang membuat mereka berpuasa. Salah seorang dari mereka menjawab, “Mau menghapus dosa masa lalu dan ingin dicintai Allah seperti yang ada di buku yang Mbak pinjamkan.”

Subhanallah.. Terima kasih Mbak Helvy untuk karyanya..

Hari Raya Idul Fitri, aku tidak bisa pulang ke kampung halaman. Aku ingat pesan orang tua, “Dimanapun kamu berada. Yang ada di sekitarmu adalah saudaramu.”

Setelah sholat Id, aku menelepon keluargaku nun jauh disana. Setelah itu, aku mengunjungi anak-anak di Lapas. Kejutan kecil sudah kusiapkan, khususnya untuk anak-anak yang puasanya penuh. Kubawakan nasi, opor ayam dan aneka kue kering buatan sendiri. Aku ingin mereka juga merasakan hari raya.

“Keluargamu nggak kesini?” tanyaku.

Nggak mbak. Ibu nggak punya uang. Belum musim panen soalnya. Lagi pula kalau kesini jauh.”

Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah pinggiran.

“Orangtuamu punya sawah?” tanyaku lagi.

Nggak Mbak, cuma buruh tani. Menggarap sawahnya orang.”

Sebagian besar dari mereka adalah anak dari keluarga miskin. Jangankan membelikan buku bacaan bermutu, sekolah saja banyak yang putus sekolah.

“Ya sudah, kalau ada keperluan apa-apa, jangan sungkan bilang sama saya, ya? Anggap saya adalah Mbakmu sendiri.” aku membesarkan hati mereka.

“Terima kasih. Aku nggak bisa balas apa-apa, Mbak.” ujar mereka ketika aku pamit.

Melihat mereka jadi lebih baik, aku merasa bahagia. Semua kulakukan karena Allah.

Cahaya yang kuberi pada anak-anak, ternyata ada yang mampu menangkapnya. Tetapi, banyak juga yang masih tersesat dalam gelap. Ketika semangatku mulai kendur, aku terus mengingat sosok Mas Gagah yang pantang menyerah dalam mengajak kebaikan.

Tetapi, ada pula orang yang tidak pernah bertegur sapa denganku, diam-diam mencerna setiap perkataanku. Ia adalah salah seorang narapidana dewasa. Hah? Kok ada narapidana dewasa juga? Sebenarnya itu adalah Lapas umum. Di dalamnya ada narapidana dewasa dan anak-anak. Tetapi aku seorang diri dalam melaksanakan kegiatan itu, supaya lebih efektif, aku memfokuskan pada narapidana anak-anak saja.

Sebut saja namanya Wanto. Berdasarkan informasi yang kudapat dari petugas, Wanto tersangkut pasal pengedar narkoba. Ia pernah kabur dan tertangkap kembali, sehingga ia harus menjalani hukuman selama 9 tahun penjara. Glek, aku menelan ludah waktu mendengar informasi itu. Di setiap kegiatanku, Wanto-lah yang membantu menata laptop, LCD proyektor dan pengeras suara.

“Mbak, dibayar berapa dari Lapas?” tanya Wanto pada suatu hari setelah acara usai.

Aku tersenyum dan menjawab, “Biar Allah saja yang bayar.”

“Mbak, kenapa mau buang-buang waktu kesini? Apalagi bawain anak-anak buku bacaan, raket bulu tangkis, kock, alat tulis dan bahan-bahan keterampilan?”

Semua keperluan itu memang kuberikan untuk anak-anak. Kalau menunggu anggaran dari negara, waduh… kelamaan. Bisa-bisa anak-anak jenuh karena tidak ada aktivitas.

“Kalian semua saudaraku. Kalau terbiasa menyibukkan diri dengan kegiatan positif, Insya Allah dampak baiknya juga untuk kalian. Tidak bosan, tambah wawasan, tambah sehat. Iya kan?”

Sejak itu, setelah acara usai, Wanto jadi sering berkonsultasi.

“Mbak, orang seperti aku apa bisa masuk surga?” tanyanya pada suatu hari.

Aku sendiri masih perlu belajar banyak dalam hal agama. Aku takut jawabanku justru menyesatkan. Tetapi, mungkin Wanto membutuhkan orang untuk bertukar pikiran.

“Tergantung penilaian Allah. Jika kita cinta kepada-Nya, menjalankan syariat-Nya. Insya Allah akan mendapatkan yang terbaik.” Hanya itu yang sanggup kukatakan.

Tak lama, Wanto menceritakan awalnya ia menjadi pengedar narkoba,“ Dulu rumah yang kami tempati adalah peninggalan dari almarhumah nenek. Tanpa sepengetahuan bapak ibu, rumah itu disertifikatkan oleh istri mudanya Om. Eh, ternyata langsung dibalik nama,dan bapak dan ibuku diusir dari rumah, Mbak. Aku ingin sekali bisa membelikan mereka rumah, Mbak. Supaya hari tuanya tenang.”

Hmm.. Orang kalau dibutakan oleh dunia, saudara pun rela untuk disakiti.

“Tapi kan, enggak harus dari jualan narkoba, Mas. Bisa cari kerjaan lain.”

“Zaman sekarang Mbak, cari uang yang haram aja susah. Apalagi yang halal.”

Dahiku berkernyit mendengar penjelasannya. Astaghfirullah..

Setelah beberapa saat menarik nafas dalam-dalam, dia menceritakan kembali masa lalunya, “Dulu saya tiga kali ikut test masuk tentara. Saya sudah semangat. Beberapa kali seleksi saya berhasil masuk. Tapi ketika seleksi terakhir, lagi-lagi saya gagal Mbak. Saya tahu, karena saya nggak punya uang sogokan seperti mereka.”

Yah, ini adalah salah satu penyakit kronis di negeri ini. Entah sekarang sudah sembuh atau semakin parah.

“Jangan suudzon dulu. Mungkin belum rezeki.” aku membesarkan hatinya.

“Iya Mbak. Saya mengalami sendiri. Masalah hukum juga gitu. Dulu saya divonis 4 tahun. Ada teman saya yang kasusnya sama, barang buktinya lebih banyak, tapi hukumannya ringan.” Wanto mulai mengeluarkan unek-uneknya.

“Hukum seperti dijual belikan, Mbak. Yang berduit hukumannya ringan, bahkan bisa lolos. Yang miskin hukumannya dalam.” ia menambahkan.

Ya Allah.. benarkah ini terjadi?

“Saya tidak tahan dengan diskriminasi, Mbak. Sebagai orang kecil, saya capek dibuang-buang terus.” Terlihat jiwa ingin berontak muncul dari dirinya.

“Sudah… sekarang kita fokus pada perbaikan diri sendiri dulu ya? Urusan orang lain, biarkan Allah yang menegur dengan caraNya.”aku berusaha menenangkan.

Aku memutar otak, bagaimana dalam keterbatasan, Wanto bisa mengobati kekecewaannya. Aku pernah membaca sebuah artikel tentang terapi marah dengan menulis. Tak ada salahnya dicoba.

“Mas Wanto bisa menulis?”

“Menulis apa Mbak?”

“Menulis apa saja. Puisi, cerita atau apa saja.” kataku.

Ternyata dulu Wanto suka menulis lirik lagu dan sempat membentuk grup band. Tapi setelah dipenjara, kegiatan bermusiknyapun terhenti. Setengah memaksa, aku memintanya untuk menulis. Pulpen dan buku tulis yang selalu ada di dalam tas pun langsung kuberikan.

“Mbak, punya buku yang bisa dijadikan referensi untuk menulis? Supaya hasilnya tidak mengecewakan.” tanyanya.

Aku langsung teringat dengan buku Ketika Mas Gagah Pergi.

“Ada. Tapi masih dipinjam anak-anak. Nanti kalau sudah selesai dibaca, aku pinjamkan. Sekarang tulis aja sebisanya dulu. Kalau ditunda-tunda, nanti penyakit malasnya kambuh lagi.” aku menjawabnya sambil bergurau.

Seminggu kemudian, anak-anak mengembalikan buku KMGP. Teringat akan janjiku, buku itu langsung kupinjamkan pada Wanto. Dan tanpa kuduga, Wanto menyerahkan tulisan tentang pengalaman masa kecilnya. Tidak tanggung-tanggung, ia menulis sebanyak 12 halaman. Aku sama sekali tidak menyangka. Jauh melebihi perkiraanku.

Dari tulisannya itu, aku jadi mengetahui banyak tentangnya. Bahwa ibunya meninggal saat ia dipenjara, ayahnya yang sudah tua bekerja di tempat cuci motor untuk membiayai sekolah ponakannya. Dan tentang kerinduannya terhadap orangtua kandungnya. Ya,Wanto adalah anak angkat. Dan ayahnya juga anak angkat. Mungkin itu sebabnya saudaranya sampai hati mengusir orangtuanya hanya untuk menguasai sebuah rumah. Mirip seperti cerita tentang Ibu Dini yang dibuang ke panti jompo yang ada di buku KMGP.

Wanto ingin cepat-cepat membelikan rumah untuk orangtua angkatnya, lalu ia ingin mencari orangtua kandungnya yang belum pernah ia ketahui sama sekali. Sebenarnya niatnya baik, namun caranya yang salah.

“Mas, menulisnya diseriusin ya? Kan kisahnya bisa dibuat novel? Siapa tahu rezeki. Dijamin halal tuh.” Aku tiba-tiba nyeletuk.

Sejak itu Wanto semakin bersemangat untuk menulis. Setiap minggu ia selalu menyerahkan tulisan tangannya kepadaku.

Hingga suatu hari, ia mengatakan, “Mbak, kemungkinan aku akan dilayar.”

Ternyata dilayar itu adalah istilah pemindahan narapidana dari satu Lapas ke Lapas yang lain. Biasanya yang hukumannya lama ada kemungkinan untuk dilayar.

“Padahal aku disini baru belajar untuk bangkit. Nanti kalau di Lapas lain apa ada orang yang peduli seperti Mbak?” katanya sedikit cemas.

Untuk sesaat, ia terdiam dan tampak ragu.

“Mbak, buku yang judulnya Ketika Mas Gagah Pergi, aku bawa ya?” tanyanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan kecil.

“Bukunya bagus. Saya bacanya sampai merinding Mbak. Aku ingin seperti tokoh yang diceritakan di buku itu Mbak. Bisa nggak ya?”

“Jika kita mendekati Allah dengan berjalan, maka Allah akan menyambut kita dengan berlari. Insya Allah, Mas Wanto bisa.” Aku meyakinkan.

“Minta doanya ya, Mbak?” kulihat matanya berkaca-kaca.

“Amin… Insya Allah. Yang kuat dan sabar ya? Allah bersama orang yang sabar.” Itu adalah percakapan terakhirku dengan Wanto. Minggu berikutnya, di setiap kegiatanku, tak ada lagi yang membantuku memasang proyektor dan pengeras suara. Entah ia dipindahkan kemana.

Aku bersyukur Allah memberiku kesempatan untuk membimbingnya walau sesaat. Sekarang Allah sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk bisa menjaga diri sendiri. Hanya doa yang selalu ku panjatkan. Bertahanlah seperti Mas Gagah ya, Wan!


*) Nama dan tempat disamarkan


BREAKING NEWS DARI SAHABAT MAS GAGAH!

Mari wujudkan film Ketika Mas gagah Pergi SESUAI SPIRT BUKUNYA! Caranya ikutan crowdfunding/ “Patungan Bikin Film” Ketika Mas Gagah Pergi bersama para Sahabat Mas Gagah (@sahabatmasgagah). Kamu bisa urunan semampu kamu. Catat rekeningnya! BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena. Konfirmasi sms 08121056956. Info: www.masgagah.com atau www.sastrahelvy.com

“Ini film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, kita dan dunia yang nonton!”

Leave a comment

Filed under Cerpen, Jurnal, Kabar, Lainlain, Sketsa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s