(Silfy Amelia Achtar, Finalis Lomba Menulis Pengalaman ‘Aku dan Kisah Ketika Mas Gagah Pergi’)
Rabu, 13 Juni 2012
Masih hangat.
Harumnya sedikit tertinggal.
Paras cerah dengan senyum hening.
Ya, itu air mata. Menitik di sudut matanya.
…
Selamat tinggal, Mas Gagahku.
Semi
“Hidup kamu tuh benar-benar seperti fairy tale ya, Mel.” Siang itu Miss Suci memulai percakapan dengan kalimat yang mau tidak mau membuatku memalingkan pandanganku dari monitor laptopku. Kami berdua harus mengumpulkan naskah soal Ujian Semester Ganjil sebelum pukul empat sore.
“Fairy tale bagaimana maksudnya, Miss?” tanyaku dengan dahi mengernyit.
“Iya, fairy tale. Di mana semua halaman dihiasi warna pink, bunga-bunga dan segala penggambaran kebahagiaan lainnya.” jawab Miss Suci dengan pandangan mata menerawang.
“Aku masih belum mengerti, Miss.”
“Kamu tuh kan hidupnya selalu bahagia, Mel. Orang tua yang rukun, adik-adik yang kompak, materi yang selalu berlebih,”
“Tidak berlebih, Miss.” potongku.
“Iya, sorry, maksudku setidaknya kamu tidak pernah merasakan kekurangan materi, kan?” lanjut Miss Suci.
“Mmm.. ya, sih.” anggukku setuju.
“Keluargamu benar-benar harmonis, Mel. Sempurna, di mataku. Tidak seperti aku dan teman-teman kita yang lain. Wida orang tuanya sudah berpisah. Dian, kamu tahu sendiri, keluarganya terlilit hutang. Aku juga merasa hubunganku dengan orangtuaku tidak semanis hubunganmu dengan orangtuamu.”
Aku terdiam. Diam mengiyakan ucapan Miss Suci.
*
Aku Amel. Putri pertama dari orang tua dan keluarga yang sempurna. Setidaknya di mataku – dan ternyata juga di mata teman-temanku sesama guru. Keluargaku terdiri dari lima orang. Papa, my very best man ever adalah seorang yang kalau diibaratkan department store, pasti seperti one stop shopping mall. Semua ada di dirinya dan pendapatku itu tidak berlebihan sepertinya. Papa yang membantuku mengajarkan semua pelajaran sekolah, menemaniku menempel struktur organisasi kelas sampai pagi, lari tiap subuh bersamaku di saat aku merasa gemuk, suporter paling semangat di setiap lomba yang kuikuti, menjemputku tengah malam di hari pertama ospek, dan semua hal baik yang telah dilakukan. Papa terlahir pintar secara akademis. Semua nilainya selalu membawanya menjadi anak dengan peringkat tertinggi di kelas. Menjadi Pelajar Teladan se-Jakarta Timur ketika sekolah dan salah satu pemegang Beasiswa Supersemar di masanya. Dari Papa-lah aku dan adik-adikku mendapatkan gen cerdas secara akademis. Sama seperti papa, kami bertiga pun selalu menjadi yang terbaik di bidang akademis. Memang tidak menjamin kesuksesan, namun melihat senyum orang tua yang mengembang bangga di hari pembagian rapor menjadi hadiah terindah bagi kami.
Aku mendapat kemampuan sosial dari Mama. Sosok yang sangat komunikatif dan seorang sosial sejati. Mengambil jurusan sekretaris dan menguasai kemampuan berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Mama juga yang mengajarkanku untuk bisa tampil dan berbicara tanpa canggung di depan banyak orang. Cantik, cheerful, dan seorang istri dan ibu yang bisa menghibur semua anggota keluarga.
Terlahir dari kedua orang tua yang mapan sejak mereka single membuat aku dan kedua adikku tidak pernah merasakan susah. Tidak ada niat untukku menyombongkan diri, tapi inilah kenyataan hidupku. Papa adalah seorang manager di perusahaan Jepang penghasil mobil yang terkenal di Indonesia, sementara Mama karyawan senior di sebuah bank konvensional besar. Sejak lahir, papa menanamkan dalam mindset kami, bahwa tugas kami hanya belajar, belajar dan belajar. Bahwa belajar itu yang utama. Saat sekolah, kami tidak pernah memikirkan masalah biaya. Saat kuliah, kami juga dilarang bekerja sambilan dan tetap fokus belajar. Kami tidak pernah mengalami pahitnya himpitan ekonomi, dan kami bersyukur karenanya.
Begitulah keluargaku. It’s just like a spring, when all the flowers bring their smiles, when the road is getting so colorful, when happiness comes over.
Summer
“Ma, boleh lepas jilbab nggak kalau nanti teteh SMA?” Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Saat itu semua keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga, di hari keenam liburan semester tahun 2001.
Papa diam dan Mama tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya, sementara kedua adikku lebih memilih untuk pura-pura tidak mendengar pertanyaanku tadi.
“Memang kenapa? Kan teteh sudah pakai jilbab sejak SD, bosan?” tanya Mama lembut.
“Nggak juga sih, Ma.” jawabku.
“Terus?” lanjut Mama.
“Cuma mau ganti suasana aja.”
“Gimana, Pa?” tanya Mama. Yang ditanya tetap diam dan meneruskan deretan kalimat yang dibacanya dari surat kabar pagi ini.
Adegan yang terjadi selanjutnya adalah keheningan di ruang keluarga dan pertanyaanku yang belum sempat terjawab.
Wangi kue raisin itu yang menyadarkanku bahwa ada seseorang yang menaruh sebuah buku baru di atas meja kayu kecil, di samping sepiring kue raisin panggang buatan Mama. Ketika Mas Gagah Pergi. Buku apa, nih? Batinku. Kuambil sepotong kue raisin yang masih hangat sembari membuka lembar pertama buku itu.
Beberapa menit selanjutnya aku menyadari, ini pasti Papa. Papa yang menaruh buku ini sebagai jawaban atas pertanyaanku kemarin. Jawaban khas Papa, tanpa kata, namun justru membuat pesan yang disampaikan masuk hingga ke dalam benakku, menyentuh-menyentuh batinku. Melalui kisah Mas Gagah ini, Papa menyampaikan isi hatinya, bahwa Papa ingin aku tetap menjaga auratku.
Berat, namun pada akhirnya, keputusanku untuk melepas jilbab di awal masa-masa SMA-ku terlaksana. Papa hanya diam tanpa menunjukkan kekecewaannya walau aku tahu, Papa pasti sangat terpukul. Kotak putih bergambar dandelion kecil yang berisi jilbab pink indah, yang diam-diam Papa selipkan di laci meja belajarku, tidak juga membuatku urung melaksanakan keinginanku untuk membuka jilbab. Tidak kisah Mas Gagah, tidak juga jilbab indah itu.
I’ll tell you a story about my summer. It was the time when I started to be the new me. I was so happy without something covered my hair. No matter what they said, I was glad to be the new me.
Winter
Pertemuan keduaku dengan buku Ketika Mas Gagah Pergi adalah ketika aku dan Papa mencari buku bersama. Papa yang kemudian berhenti di tumpukan buku itu melirikku sesaat.
“Kayaknya buku ini ada di rumah ya, Teh?” tanya Papa lebih ke basa-basi.
“Iya, Pa. Udah dibaca, kok,” ada yang tersekat di tenggorokanku. Percakapan selesai dan Papa melanjutkan kesibukannya menyusuri rak-rak panjang toko buku, sementara batinku didera perasaan bersalah. Kala itu, sudah hampir empat tahun aku membiarkan auratku terbuka. Aku tahu dan mengerti perintah Allah dalam surah An-nuur, aku tahu Papa kecewa, tapi aku sungguh tidak ingin memakainya!
Musim hujan saat itu pula yang menjadi awal dari perjalanan Papa melawan kanker kolon – kanker usus besar. Ketika itu, hujan masih mewarnai hari-hari kami di awal Februari. Sembilan hari terbaring di rumah sakit, dokter tidak juga menemukan penyebab sakitnya perut Papa. Serangkaian tes dari mulai tes darah, sampai dengan Tes Mantoux untuk mendeteksi penyakit TB telah dilakukan Papa. Sampai akhirnya, endoskopi dilakukan untuk melihat isi perut Papa dan dokter menemukan penyebab semua rasa sakit yang Papa derita: Tumor.
Sakitnya Papa merupakan pukulan bagi keluarga kami, cobaan berat perdana bagi kami. Sepanjang Februari kami menghabiskan hari-hari kami untuk bergantian menjaga Papa di rumah sakit. Aku berangkat mengajar dari rumah sakit, begitu pun kedua adikku yang berangkat kuliah dari rumah sakit. Mama sebagai istri yang setia, menghentikan segala aktivitasnya sebagai Kepala Taman Kanak-kanak untuk sementara demi menjaga Papa.
Awal Maret, operasi pengangkatan tumor Papa yang pertama dilakukan. Yang membuat kami makin sedih adalah ketika operasi dijadwalkan tepat ketika kedua adikku berulang tahun. Papa dimasukkan ke ruang ICU untuk persiapan operasi pada tanggal 4 Maret 2012, bersamaan dengan ulang tahun adik bungsuku, Via, sementara operasi akan dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2012, di saat adik pertamaku Nia berulang tahun. Aku sedih, Mama pun sedih, namun aku tahu yang paling merasakan kesedihan ini adalah kedua adikku, Nia dan Via.
Tidak ada satu bait pun dari puisi pahit tentang perjuangan kami ini aku lupakan. Bahkan ketika ratusan hari telah berlalu, pedihnya tetesan air mata yang membasahi hati kami masih bisa kami rasakan. Dinginnya ruang tunggu bagi para keluarga pasien ICU di salah satu rumah sakit swasta di Bekasi masih sering datang mengunjungi ingatan kami.
“Selamat ulang tahun, Sayang.” suara Mama yang membangunkan Via dari tidurnya di awal subuh 4 Maret 2012. Saat itu, kami berempat tidur berjejer di lantai beralaskan tikar tipis dengan tumpukan jaket sebagai bantal. Itu adalah hari ketiga Papa dirawat di ICU.
“Ayo, doain Papa biar operasinya lancar, tumornya bisa diangkat semua, dan senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah, supaya kita bisa berkumpul lagi berlima.” Astagfirullah. Tiada yang sanggup menjawab kata-kata Mama. Kami hanya bisa menangis berpelukan seraya mencoba sabar dan tawakkal dalam menghadapi cobaan ini.
Dan ketika esok hari datang, Mama kembali menyapa puterinya.
“Selamat ulang tahun, Sayang. Hari ini Papa operasi, ayo berdoa semoga Papa selalu ada dalam lindungan Allah dan kita berlima ikhlas menerima ujian ini.” Lagi-lagi kami hanya bisa menangis berpelukan di subuh yang dingin itu. Bibir-bibir kami tak henti membaca asma-Mu. Memohon ampun dan berserah sepenuhnya kepada Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Operasi berlangsung selama empat jam. Kami pada akhirnya bisa menemui Papa di ruang ICU tepat sebelum adzan magrib berkumandang. Saat itu kami berempat sepakat untuk tidak membahas ulang tahun kedua adikku, untuk mencegah Papa sedih yang dikhawatirkan akan membuat kondisinya memburuk pasca operasi.
“Pa, Alhamdulillah operasinya lancar. Sudah diangkat sama dokter. Papa istirahat aja, ya.” hibur Mama sambil sekuat tenaga menahan air matanya yang sudah tak bisa lagi dibendung. Kondisi Papa masih belum stabil. Bermacam selang dan kabel serta monitor yang sebelumnya hanya bisa kulihat di sinetron-sinetron, sekarang tersebar di seluruh tubuh Papa.
“Selamat ulang tahun.” ujar Papa lirih dan terbata-bata sambil melihat Nia dan Via bergantian. Seketika itu pula, benteng pertahanan air mata kami hancur. Ya, Rabb. Bahkan di saat seperti ini Papa masih mengingatnya. Hari itu, cukuplah pelukan Papa di antara kabel yang menempel di tubuhnya menjadi hadiah ulang tahun terindah bagi kedua adikku.
My winter came with all those sorrowful memories.
Autumn
“Signet ring cell.” ujar dr. Fajri, dokter spesialis penyakit dalam yang menangani Papa selama di rumah sakit.
“Apa itu, Dok?” tanya Mama. Hari itu kami dipanggil ke ruang periksa untuk mendengar evaluasi dokter mengenai jenis tumor Papa setelah dilakukan operasi pengangkatan.
“Ini jenis yang ganas, Bu. Dia seperti benalu, benalu yang hanya akan mati jika tanaman yang dihinggapinya mati.” tambah dr. Fajri lagi.
“Jadi, maksud dokter, yang ada di perut Papa itu kanker? Bukan tumor?” sahutku panik.
“Ya. Ini kanker kolon dengan jenis sel yang dinamakan Signet ring cell.” jawabnya.
“Dan sel kanker itu tidak akan bisa mati, kecuali …” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Di sebelahku, Mama sudah lemas dan berkali-kali istigfar terdengar dari bibirnya.
“Apa nggak bisa transplantasi usus, Dok?” tanyaku lagi.
“Maaf, tapi setahu saya tidak ada transplantasi usus. Sekali lagi saya minta maaf. Namun hal ini harus saya informasikan kepada pihak keluarga. Ayah anda kondisinya saat ini sudah ada di stadium terminal. Kanker sudah menjalar kemana-mana, bahkan sudah mengenai livernya. Kalau saya bisa ibaratkan, kondisi ayah anda ibarat lampu minyak, yang minyaknya tinggal sedikit. Tapi jangan putus asa. Terus hibur ayah anda dan terus berdoa, karena yang menentukan hidup matinya seseorang adalah Allah, bukan manusia.”
Kondisi ayah anda ibarat lampu minyak, yang minyaknya tinggal sedikit. Kalimat itu yang mengiringi kami keluar dari ruang periksa dokter. Entah apa yang ada di pikiran Mama dan adik-adikku. Yang kurasakan hatiku seperti mati sesaat, hingga air matapun tidak bisa keluar walaupun rasanya aku ingin menangis sekerasnya.
“Via, hamster yang Via pelihara dititip di mana?” tanya Papa, yang sekarang sudah bisa tidur di ruang perawatan. Ketika pada akhirnya kami bisa tidur berlima dalam satu kamar setelah berminggu-minggu Papa tidur sendiri di ruang ICU dan hanya bisa ditengok pada jam jenguk.
“Titip di Teh Egi, Pa.” jawab Via. Dia memang memelihara hamster, yang terpaksa dititip di adik ipar mama selama kami tinggal di rumah sakit. Adik bungsuku itu baru saja pulang kuliah dan menunjukkan hasil UASnya yang mendapat nilai 96. Wajah bangga Papa saat melihat nilai puteri bungsunya itu membuat Via berusaha keras menahan air matanya.
“Vi, kalau nanti, Nabhan anak Teh Egi yang masih kecil mau ambil hamster Via, boleh nggak?” tanya Papa. Via terlihat bingung mencari tahu ke mana arah pembicaraan Papa.
“Boleh aja, Pa. Kalau memang dia suka, dia boleh ambil hamster Via, kok.” jawab Via.
“Nah, begitu juga Papa. Yang punya Papa, siapa?” tanya Papa.
“Allah.” jawab Via.
“Kalau Allah mau ambil Papa, Via harus ikhlas menerima. Karena Allah yang memiliki segalanya, termasuk Papa.”
“Titip Via ya, Mel. Dia yang kelihatannya belum siap. Biar sudah mahasiswa, dia tetap anak bontot yang masih kekanakan.” Cuma ada Papa dan aku di kamar perawatan saat itu.
“Iya, Pa.” ujarku parau. Tangisku mulai pecah. Kupeluk Papa dan menangis sejadi-jadinya di pelukannya.
“Maafin ya, Pa.”
“Sama-sama. Maafin Papa juga.”
“Tapi Papa nggak punya salah, Pa.” tangisku, masih dalam pelukan Papa.
“Pakai jilbabnya lagi, ya. Mudahkan jalan Papa menuju surga. Menurut Papa, Amel jauh lebih cantik kalau pakai jilbab.”
Ya Allah. Malu hati ini mendengarnya. Selama ini aku memberatkan langkah Papa untuk menggapai surga dengan membuka auratku.
“Tesisnya diselesain, ya. Maaf kalau mungkin Papa nanti nggak bisa jadi wali di pernikahan Amel sama Lukman. Enam bulan lagi, ya?”
“Ya, Pa.” Aku sudah tak kuat lagi untuk menjawab ucapan Papa. Ingin rasanya aku meminta Allah untuk mengabulkan satu doa saja: sembuhkan Papaku sayang.
“Pa, apa nanti, setelah kita berpisah, ada cara kita untuk bisa komunikasi sama Papa, ya? Amelia masih mau cerita sama Papa, walaupun kita sudah nggak kumpul berlima lagi.”
“Lewat doa, sayang. Doain Papa terus, insya Allah jadi jalan kita komunikasi. Walaupun pasti bukan komunikasi seperti ini lagi.”
“Ya, Pa. Pasti. Doa kami pasti selalu untuk Papa.”
“Silfy Amelia Achtar, wisudawati program Magister Pendidikan Bahasa Inggris.”
“Silfy Erdania Achtar, wisudawati program sarjana, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.”
Pa, can you hear that? Kami akhirnya bisa mewujudkan impian Papa. Bahkan Allah atur kami diwisuda bersamaan. Oia, Pa, sekarang Amelia sudah pakai jilbab lagi. Alhamdulillah. If only you could see, Pa. Hari ini Amelia pakai jilbab yang Papa kasih. Dan benar kata Papa, Amelia lebih cantik kalau tertutup seperti ini. Terimakasih jilbabnya, Pa. Terimakasih atas kisah indah dalam buku Ketika Mas Gagah Pergi, yang Papa berikan. Papa adalah Mas Gagah buat Amelia. Sekali lagi, terimakasih, Pa.
Winter, spring, summer, and autumn, there’s no day without saying a pray to you. As you said, pray is the way for us to communicate each others. We will always love you, Pa.
STOP PRESS!
Mari wujudkan film Ketika Mas Gagah Pergi SESUAI SPIRIT BUKUNYA! Caranya? Ikut crowdfunding/ “Patungan Bikin Film” Ketika Mas Gagah Pergi bersama para Sahabat Mas Gagah (@sahabatmasgagah). Kamu bisa urunan semampu kamu. Catat rekeningnya! BNI Syariah 0259296140 a.n Yayasan Lingkar Pena. Konfirmasi sms 08121056956. Info: http://www.masgagah.com atau http://www.sastrahelvy.com
“Ini film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, kita dan dunia yang nonton!”
Reblogged this on just a treasure and commented:
🙂
Nice!!!
Makasih nih buat ceritanya,, menarik nih,,saya suka.
Buat saya menangis 😥