Merasa dekat dengan wajah dan suara seseorang
yang tak pernah kukenal,
akhirnya itu menjadi keanehan yang dimaklumi, Tom
Nyanyianmu menjelma puisi puisi cintaku yang melelahkan
karena tak pernah sampai
Begitulah masa remajaku bersamamu
menempuh jalan berliku dalam cuaca perih
Dan kita semua selalu butuh tempat bersandar, bukan?
A Shoulder to Cry On,
saat kau senandungkan Februari 1988, kita delapan belas tahun
Aku sedang bertarung dengan resah,
terkurung badai yang kucipta sendiri
bersama bait bait puisi yang lepas kendali
dan melilit lilit tubuhku
Pada akhirnya aku menang, Tom
Dua bulan kemudian tanpa kuduga, kudapatkan cahaya itu
Kukenakan hijab. Kutemukan sandaran sejati,
tempat mengadu nan abadi. Siapa? Dia Sang Maha
Sejak itu aku tak lagi mendengarmu, Tom
Kecuali secara tak sengaja di televisi
atau kafe yang sunyi
Kadang lagu lagumu berbisik dalam puisiku.
Lalu seperti seorang karib aku bertanya tanya
apa yang terjadi denganmu, Tom?
Sudahkah kau temukan sandaran itu?
Sudahkah kau temukan tempat untuk mengadukan segala?
Hari ini kudengar kabar kepergianmu
Aku bergidik
Mereka bilang kau gantung diri
Ada nyeri yang gering mendengarnya
Tanpa sandaran, tanpa tempat mengadu,
dan hanya menabung putus asa dari hari ke hari,
kepergian seperti itu kian niscaya
Selamat jalan, Tom
Tak ada yang sanggup kukecup dan kuucap kecuali duka
Kuharap setiap yang mencintaimu kelak mau mencari
dan menemukan sandaran hakiki yang begitu kita rindukan
Dia yang sangat mencintai, yang sebenarnya lebih dekat
dari urat nadi kita sendiri
Pingback: Dear Tommy Page | dwipermitasari's cita dan cinta ♥
Tragiss yaa kematiannya. Sedih sih…mengapa harus dengan cara seperti itu.
Semoga kejadian yg menimpa TP memberi pelajaran untuk kita bahwa Tuhanlah sandaran kita.