MERAYAKAN KEHILANGAN
Kau pun pergi sambil menjinjing
sekantong plastik kenangan kita
yang belum ranum
“Jangan menangis,” sepi datang
mengecup mataku. “Aku akan selalu
di sini,” jemarinya membelaiku
Dan kami sekali lagi
berjalan bergandeng tangan
merayakan kehilangan
(1 September 2016)
YANG TERUSIR DARI SAJAK
Aku telah mengusirmu
dari lembar terakhir sajakku
Kau yang kehilangan bentuk,
meringkuk, lalu beringsut pergi
memudar, meleleh
di antara frasa
yang tak lagi getar
lenyap diringkus malam
dan kenangan
yang gagal kuhirup
dalam secangkir kopi dingin
(Puncak, 2014)
PLUVIOPHILE
Hujan adalah mantra
yang memanggil kembali
namamu hingga ke sumsum sunyi
yang mencipta lagi parasmu
di antara genangan rindu
paling gigil
Kitakah itu
Yang tak pernah ragu
menitipkan getar asa pada aksara
yang larutkan rasa dan cuaca dalam kata
yang memancang dan mengibarkan doa doa
Kitakah itu
yang mabuk oleh aroma petrikor,
Setia di sini mencicipi sepi
dan pagi masing masing
yang terhidang sebagai puisi
(2015)
STASIUN TERAKHIR
Selalu ada yang menyesakkan,
setiap kali kita berpisah
di ujung jembatan itu,
sebelum aku pulang
membawa wajahmu
dalam kepala
Seperti biasa di gerbong kereta
kususun cerita baru kita hari itu,
dari katakata yang berulangkali
disergap rindu, kecemasan,
dan airmata
Barangkali aku begitu
mencintaimu,
hingga terus menghitung
sisa masa
Aku akan tiba di stasiun terakhir,
tempat waktu menunggu
Ia akan merengkuhku
dengan cakarnya
yang nyala dan lancip
memaksaku pergi selamanya
darimu,
dari katakata yang limbung
dan runtuh
bersama kisah kita
( Stasiun Cikini, 2014)
PUISI PUISI YANG MELEPUH DI MATAKU
“Aku akan memetik satu bintang,” katamu.
Lalu sekuat tenaga
aku akan menyeret rasa itu pulang
sampai jauh,
bertarung sendiri,
melawan puisipuisi biru
yang terus melepuh
di mataku
( Depok, 2017)
YANG MEMBUNUH PUISI
Ada yang selalu
menumbuhkan
puisi
sapa kupukupumu
dan rindu yang melata
di tubuh kita
Ada yang akan
membunuh
puisi
kita yang kembali
asing
dan berlomba saling
melukai
(Depok, 2016)
AIRMATA MIMPI
Setiap pagi ia menyeduh
secangkir puisi
untukmu
dari airmata mimpinya
semalam
Ia akan selalu ada
dan siaga
meski ia bukan sesiapa
bagimu
meski cinta pada akhirnya
hanya persoalan keberanian
memeluk kenangan sendirian
ketakrelaan kita
membuang mimpi dan alegori
( Agustus 2015)
MENDAMBAKAN LUPA
Angin yang merintih di jalan setapak itu
tak pernah istirah
mengirim bau tubuhmu yang laut
dalam riuh dalam hening
saat lampu-lampu dinyalakan
atau dimatikan
Aku pun berjingkat ke beranda
mengambil parang
dan menggergaji kenangan
jadi serbuk jadi duri
lalu kularung dalam selokan
di samping taman tak bernama itu
Saban hujan aku yang menggigil
mendengar kau memanggil-manggil
dari dalam selokan
tapi wajah serupa engkau muncul di televisi
sambil bicara tentang seseorang
yang begitu mendambakan lupa
(Rawamangun, 2011)
PERNYATAAN TENTANG PUISI
Satu-satunya yang tak akan pernah
memisahkan kita dari apapun
adalah puisi
bahkan saat kau pergi,
aku tetap bertahan
di larik yang kau cabik
Puisi adalah caraku
membingkaimu dalam sunyi
(Depok 2010)
PEREMPUAN YANG BERTAHAN DENGAN PUISI
I
Senja yang retak
Kapal-kapal berlayar membawa kenangan
Airmatamu menjelma puisi
paling duri, paling angin
II
Suara suara di kepala;
haruskah aku mencintaimu
Haruskah aku berhenti mencintaimu
Haruskah ada kita
Haruskah bila
Lalu malam menggeliat,
membungkus semua tanya dan nyeri itu
dalam sekantong besar puisi
yang lumer di mataku.
II
Katamu barangkali cinta
memang akan selalu
mempertaruhkan nama, rasa,
cuaca dan masa
tertatih menua, tergugu,
di gerbang janji yang terkunci
III
Senja yang retak, suara-suara di kepala
Dalam diam kadang ingin kutikam
cintaku padamu berkali kali
dengan pedang itu; lara yang lancip,
terasah hari demi hari,
dan puisi puisi pasi
yang perlahan menjelma gergaji
(Rawamangun 2012)