Fakta Mengejutkan di Balik Kesuksesan Asma Nadia & Helvy Tiana Rosa

brgnyokapdeh

Oleh: Abdurahman Faiz

Meski pernah hidup pas-pasan bersama keluarganya di tepi rel kereta api, perempuan ini tak pernah menyerah. Anak-anaknya harus sekolah! Mereka harus cinta membaca dan menulis agar tidak mudah dibodohi, agar mereka bermanfaat dan bisa menolong orang lain.

Namanya Maria. Setiap malam, ia mendongeng untuk anak-anaknya. Ia tak pernah lelah bercerita tentang banyak hal yang memotivasi mereka untuk terus membaca. Setiap hari pula, sebelum tidur, anak-anaknya menyaksikan Maria selalu menulis catatan harian. Kebiasaan ini menular pada mereka, dan menulis menjadi kegiatan bersama yang menyenangkan setiap hari.

Karena kehidupan yang sulit, Maria jarang bisa membelikan buku untuk anak-anaknya. Matanya selalu berkaca-kaca setiap kali pulang dari pasar melihat anak-anaknya dengan riang, berebut koran pembungkus bawang, cabai dan bumbu dapur untuk dibaca. Ia terenyuh saat ketiga anaknya diusir dari tempat penyewaan buku karena selalu kesana tanpa pernah bisa menyewa. Perih, saat mereka pergi ke toko buku bersama hanya untuk melihat-lihat, tanpa membawa pulang satu buku pun.

Setiap hari perempuan ini berjalan terseok-seok berkilo-kilo meter membawa seprai dagangannya, menjajakan dari pintu ke pintu. Sambil menawarkan seprai, biasanya ia mencoba meminjam majalah atau buku cerita milik (anak-anak) para tetangganya. “Anak saya sangat suka membaca, tapi kami jarang bisa membeli buku. Bolehkah saya meminjam buku anak-anakmu? Akan kami jaga dan kami sampul dengan rapi,” tuturnya. Tak diduga, setiap hari Maria bisa membawa pulang 5-10 buku cerita yang disambut anak-anaknya dengan melompat lompat!
“Jangan ada bagian yang dilipat,” pesan Maria. “Kita harus mengembalikan dengan rapi, agar boleh meminjam lagi.”

Maria menemani anak-anaknya mengikuti berbagai lomba yang diadakan tanpa uang pendaftaran. Beberapa kali mereka memenangkan lomba mewarnai, membaca puisi dan lain-lain berhadiah buku atau uang yang kemudian dibelikan buku.“Kita akan buat perpustakaan!” ujar Maria.

“Perpustakaan? Dengan 10 buku?” Tanya anak-anaknya.

“Mengapa tidak?” senyum Maria. “Nanti akan bertambah in sya Allah. Mungkin suatu saat kita bukan lagi punya perpustakaan di rumah, tetapi perpustakaan di tiap kamar!” katanya ceria diikuti pandangan mata kecil mereka yang berbinar.

Maria juga mendorong mereka untuk menyewakan buku-buku milik mereka sendiri yang sudah dibaca. Berbekal sebuah meja kayu kecil di depan pintu rumah mereka, anak-anak itu riang bergantian menjaga. “Tapi ingat, kalau ada anak kecil seperti kalian. Yang hanya melihat dan tak mampu menyewa, pinjamkan dengan gratis, ya! Mungkin kalian tak dapat uang, tapi kalian akan dapat sahabat baru!” pesan Maria diikuti anggukan anak-anaknya.

Saat salah satu anaknya divonis gegar otak dan mengidap banyak penyakit, Maria terus menyemangatinya. Maria rela tak makan siang, agar uangnya bisa dibelikan buku, meski hanya buku tipis, peneman anaknya di rumah sakit. “Mama belum lapar,” katanya selalu. “Tapi kita berdua selalu lapar buku kan?” candanya.

Bertahun kemudian, saat sang anak tersebut tak bisa meneruskan kuliah karena berbagai penyakit, Maria dengan yakin berkata, “Kamu masih bisa terus membaca dan menulis. Suatu hari nanti, kau akan kembali ke kampus, meski tanpa gelar. Kamu akan menjadi pembicara di hadapan para doktor dan profesor itu!”

Waktu berlalu dan Maria tak pernah menyerah. Ia bimbing anak-anaknya terus menulis. Ialah pembaca pertama karya anak-anaknya. Kadang ia terharu melihat tulisan mereka yang tak dimuat meski sudah puluhan kali mengirim. Beberapa kali ia juga lihat tulisan yang dibuat susah payah dikembalikan redaktur ke alamat rumah. “Jangan menyerah! Putus asa bukan jalan kita! Semangat!” ujarnya sambil membelai kepala anaknya.

Dengan berjalan kaki atau naik angkutan umum, setiap bulan Maria membawa anak-anaknya ke Taman Ismail Marzuki, melihat para seniman termasuk sastrawan seperti Rendra, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri membacakan karya, mementaskan, atau sekadar berlatih teater. “Mereka juga berangkat dari nol. Selalu ada langkah awal yang tidak mudah untuk mencapai segala,” katanya. Anak-anaknya tersenyum

Maria terkejut, menegur, namun tak marah saat mengetahui anak-anaknya mengamen puisi di bus kota untuk bisa membeli mesin tik. Ia tahu tekad anak-anaknya bulat untuk menjadi seorang penulis.

“Apapun cita-cita kalian, kalian bisa menjadi penulis. Berdoa, berusaha! Dan bila kalian sudah jadi penulis, ajak anak-anak dan remaja Indonesia lain. Bantu mereka tanpa pamrih. Ingat yang kita alami. Kemiskinan bukan penghalang meraih cita-cita.”

Maka ketika salah satu anaknya yang saat itu baru kelas 1 SMA terpanggil untuk mengajar membaca dan menulis gratis bagi anak-anak tak mampu di sekitar rel kereta api Gunung Sahari dan Senen, Maria mendukung. Ia siapkan kapur, papan tulis dan buku-buku. Saat sang anak dihadang preman-preman di sana, Maria turun dengan berani memberi pencerahan. “Membaca dan menulis membuatmu abadi, membuatmu selalu punya sesuatu untuk dibagi. Dan yang suka berbagi tak akan pernah merugi,” yakin Maria.   Ya, menurut banyak orang, Maria bukan hanya pribadi yang tangguh, namun juga tulus dan perhatian pada banyak orang.

mamikuKini Maria berusia 67 tahun. Pejuang tangguh itu memang belum pernah menerima penghargaan apapun. Tapi dua anaknya merupakan penulis terkemuka Indonesia yang banjir penghargaan.

Helvy Tiana Rosa telah menjadi relawan di bidang literasi sejak SMA. Ia menjadi Redaktur Majalah Annida saat duduk di semester dua, Fakultas Sastra UI. Helvy dan sang adik: Asma Nadia masing-masing telah menulis lebih dari 50 buku. Beberapa karya mereka telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Jerman, Arab, Perancis, Jepang, Swedia, India, dan Korea. Sebagian telah difilmkan dan disinetronkan. Banyak orang terinspirasi dari karya-karya kakak beradik ini. Helvy dan Asma menerima sekitar 40 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan dan pemberdayaan masyarakat, dari mulai Kartini Award, Nova Award, Ummi Award, She Can Award, Penghargaan Adikarya IKAPI, Tokoh Perbukuan IBF Award, Tokoh Perubahan Republika, Tokoh Sastra dari Balai Pustaka & Majalah Sastra Horison, dll.

Helvy dan Asma mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP) tahun 1997, organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. FLP membidani kelahiran para penulis baru di banyak daerah di Indonesia, hingga ke mancanegara. Sebagian dari mereka merupakan kalangan dhuafa yang mendapat bimbingan gratis menulis. Uniknya mereka yang telah menjadi penulis, kemudian menjadi mentor bagi para calon penulis baru, begitu seterusnya. FLP mendapat Danamon Award sebagai “Pahlawan masyarakat” (2008).

Helvy menginisiasi lahirnya Rumah Cahaya (BaCA dan HAsilkan karYA) di berbagai kota di Indonesia. Asma mendirikan penerbit dan membantu banyak penulis baru menerbitkan bukunya. Ia juga mendirikan ratusan Rumah Baca Asma Nadia di berbagai pelosok Indonesia. Helvy yang pernah duduk di Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) dan Majelis Sastra Asia Tenggara (2006-2014), merupakan Dosen Sastra dan Penulisan Kreatif di sebuah universitas. Mereka berdua kerap diundang keliling pelosok Indonesia dan ke berbagai negara untuk berbicara mengenai karya-karyanya, melatih menulis serta menginspirasi banyak orang menulis. Sejak tahun 1997 hingga sekarang, jutaan orang telah mengikuti workshop yang diadakan Helvy dan Asma.

Meski tak menyelesaikan kuliah karena sakit, Asma diundang ke lebih dari 60 negara untuk berbagi inspirasi, termasuk pada Iowa Writing Program di Amerika Serikat, yang mengumpulkan 35 penulis dari 31 negara. Sembilan filmnya telah menginspirasi banyak orang seperti: Emak Ingin Naik Haji, Assalaamualaikum Beijing, Rumah Tanpa Jendela, Surga yang Tak Dirindukan, Jilbab Traveler, dan Cinta Laki Laki Biasa. Asma kembali ke almamaternya, diundang berbicara pada Dies Natalies di depan para profesor dan doktor, sebagaimana yang sebelumnya dibayangkan Maria.

Maria amat peduli pada perkembangan cucu-cucunya. Ia membantu anak-anaknya mendorong para cucu suka membaca dan menulis. Maka cucunya: Abdurahman Faiz dan Putri Salsa merupakan pelopor buku Seri Kecil-Kecil Punya Karya (Mizan) yang booming di Indonesia. Faiz menulis buku sejak usia 8 tahun, kini telah menulis 12 buku. Begitu pula Putri Salsa. Mereka menjuarai berbagai lomba penulisan tingkat nasional. Faiz pernah mendapat Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY (2009).  Putri Salsa terpilih membentangkan karya tulisnya hingga Oxford University, London. Adam Putra Firdaus yang saat ini menekuni dunia sepakbola di Spanyol, bahkan menulis buku pertamanya saat berusia 5 tahun! Beberapa cucu Maria yang lain sambil bermain pun kini senang membaca menulis, dan sadar arti pentingnya kedua hal tersebut dalam hidup mereka.

Maria mungkin nama familiar yang belum Anda kenal, tapi dari rahim dan dari ketangguhannya lahir dua pegiat literasi garda depan Indonesia. Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia tercatat sebagai The World’s Most 500 Influential Muslims (500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia) hasil riset dari Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan. Penghargaan itu diraih Helvy sejak 2009 dan Asma sejak 2012 terus berkelanjutan. Dalam daftar terbaru tahun 2016 dan 2017, nama dua kakak beradik ini juga masuk bersama 20 tokoh Indonesia lainnya dari berbagai bidang

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

3 Comments

Filed under Jurnal, Kabar, Karya, Lainlain, Sketsa

3 responses to “Fakta Mengejutkan di Balik Kesuksesan Asma Nadia & Helvy Tiana Rosa

  1. Luar biasa, sangat menginspirasi. Saya baru sekali ikut hadir di acara mbak Helvy dan mbak Asma.

    Dengan mbak Helvy di acara seminar & workshop Festival Film Islami Santri Asean, MUI-Kemenag, Maret 2017. Sedang mbak Asma Nadia waktu launching novel PESANTREN IMPIAN di Gramedia, Matraman, Jaktim beberap waktu lalu. Sukses kalian berdua, juga salam hormat buay Ibu Maria.

  2. Isnawaty Dj Nussa

    Sangat menginspirasi saya untuk mencoba menulis.

  3. Reblogged this on Sarung Patriot and commented:
    Inspiratif.

Leave a reply to Ocid Quro Cancel reply