SAJAK FEBRUARI
1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu
2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh
3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini
4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar
engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau
5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu
Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah
6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi
7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai
8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku
Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini
9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu
Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan
Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?
Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis
Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan
Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah
10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta
dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima
(Depok, 1995)
YANG BERDANSA DI KERUDUNG
Aku kangen
berenang di matamu
menatap cuaca dan cakrawala
dari wajahmu
tapi kini samar bayangmu
pupus dalam mangkuk-mangkuk
sajakku yang retak
Huruf huruf pun gelisah
berdansa di kerudungku
musim silih berganti
memproduksi kenangan
yang diam-diam mengungsi
ke jantung puisi
(2013)
BEGITULAH KISAH KITA MENUTUP MATA UNTUK SELAMA LAMANYA
Aku akan bergegas meninggalkanmu,
semua jejak, bayangan, dan gurat kenangan itu
Tak akan ada pintu, jendela atau satu celah pun
untuk kembali.
Kita mungkin hanya akan melihat
satu sama lain dari jauh
sambil menyeduh secangkir kopi
berisi mimpi masing masing
Jalan kita adalah simpang empat
yang terlalu ramai oleh harapan
dan ucapan terimakasih
“Kau terlalu baik,” katamu.
Tapi kau berpura tak tahu,
bahwa cinta selalu menjadi pembuka
bagi semua jalan kebaikan
yang terjal dan mendaki itu
Di pelupuk mataku, seorang gadis,
bergelayut manja padamu
sambil melambai lambaikan hatinya
yang berwarna warni
Malam yang bimbang,
berhenti mencumbu purnama
Di baris baris kidungmu, rindu tersengal sengal
diterjang kenyataan,
lari tertatih tatih, terkapar
dan bersembunyi
di halaman halaman novel,
cerpen dan puisi
Begitulah kisah kita menutup mata
untuk selama lamanya.
(Depok, 18 Agustus 2016)
LOVE OF MY LIFE, LAGU ITU
Love of My Life lagu itu,
daun daun kenangan gugur
pada musim yang lebam
dan terus membiru
Sebongkah puisiku larut
dalam secangkir teh tawar hangat
yang kau teguk
hingga ke poripori waktu
Love of My Life lagu itu
“Aku menemukanmu,” bisikku.
Senja yang rapuh tergugu
membelai lariklarikku yang kaku
Kau tahu,
sejauh dan sedalam apa mencinta,
aku hanyalah nama
yang tak pernah sampai
di almanakmu
Love of My Life lagu itu
“Jangan menangis,” katamu
“Kita akan selalu bersama.”
Tapi aku tahu
aku telah kehilanganmu
selamanya,
tepat di saat kita
pertama bertemu
( Jakarta, 18 November 2015)
HUJAN BERPUISI
Hujan berpuisi, gigilnya menembus
belulangmu hingga sumsum
Ia tergugu di pelataran sendu,
mencipta bayang dari genang
yang tak lagi memberi asa
dan kemungkinan
Rintihnya memerihkan hari,
jeritnya menyayat-nyayat sunyi
Hujan belum berhenti berpuisi,
pilu mencari rinai rasa yang dulu
Ia beri kunci ajaib
untuk membuka laci laci memori;
aku yang sekarat bersimbah puisi,
dan kau yang tak pernah peduli.
(2013)
CINTA
Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi
Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati
Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin
Kau menempel di buku-buku, di televisi,
di gedung-gedung dan panggung pertunjukan,
juga pada angin dan debu pada napasku
Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak yang kau tinggalkan
seperti pemburu yang saru
Panggil aku cinta
Bukan, aku bukan wanita khayalanmu
Aku yang mendambamu hingga ke paling lembah
Apakah kau percaya pada ada dan tiada
Sebab aku mungkin ada, sebab aku mungkin hanya tiada
Sepotong diam yang tak henti mencinta
hingga penghujung senja
(Kemayoran, 1988)
DI JURANG PUISI
I
Menampung rindu
dari hari ke haru,
Menanggung resah yang berlarian
hingga jantung,
Jarum jarum hujan
menikam mata kita
Katamu tak apa
Karena duka cuma
museum kebahagiaan
yang retak dan pecah di dada kita
II
kita pun saling meninggalkan
menanggalkan semua kenangan
yang hinggap
dan meleleh di dahi musim
sejak saat itu kutemukan diriku
yang beku, terperangkap dalam kulkas
berisi puluhan kilogram
puisi puisi setengah jadi
III
tanpa peta aku kembali ke sini:
jalan raya yang terbuat dari parasmu
Katakata canggung, waktu gugu
Bagaimana kau menerjemahkan kekosongan?
IV
Ini malam tak ada jejak
yang membaca cinta.
rindu siapa nganga
di jurang puisi?
(Februari 2013)
VIDIARA
1
Aku mengira cinta adalah
samudera pengorbanan tanpa tepi
kesetiaan yang semakin menjadi
dan ketika cintanya
terdefinisi sebagai ilalang patah
waktunya bagiku untuk mengapung
dalam realitas imaji
dan lebur
di kedalaman laut
matamu
2
Inilah taman hening
Tempat merakit realita.
Realita?
Aku meragukan realitaku sendiri
Yang mana realitas itu sebenarnya?
Mungkin bagiku
mimpi dan fiksi
itulah realita sejati
sedang hidup yang kata mereka kujalani
hanyalah mimpi, cerpen, bahkan novel
yang belum selesai
Dan tercabik tiga kali cukuplah bagiku
setelah tak terhingga kali
terus berusaha mencinta
dan menangkan cintanya
Kini aku hanya mampu
menjaga cahaya mataku
agar ia tetap ada
di sana
3
Aku sudah pernah bicara
pada semua yang berwarna
dan tidak berwarna
pada semua yang bernama
dan tidak bernama
pembicaraan kami dirahasiakan
angin
tapi mereka tahu
luka akan memecahkan jiwa
dari tubuhku
yang menciptakan tubuhmu.
4
Malam ini taman hening
penuh cahaya biru dan ungu
Vidiara bisu
Sesungguhnya aku telah
mendapat kekuatan
mungkin bernama engkau
dan airmata
5
Singgahlah sejenak
Air minum untukmu
kuambilkan dari sungai samara
yang mengalir melintasi Vidiara
Sungai itu menjanjikan air jernih
sepanjang masa,
cukup dengan ramuan
dari kristal airmataku
Musik atau tembang apa
yang kau pinta?
Aku tinggal berbisik
pada Vidiara
ia akan meliuk,
menari
dan angin pun mendesaukan
nada-nada itu
bersama kunang-kunang
6
- Setiap malam kusiapkan hal berbeda
- untuk menawanmu di sini
- Kau tahu, tengah kusiapkan
- makan malam di atas
- sebuah perahu
- yang akan membawa kita
- melintasi jalur samara
- yang hening bening
- tak perlu lampu atau lilin
- karena seribu bintang, seribu kunangkunang
- akan menemani
- jangan bawakan aku bunga,
- sebab semua bunga tunduk padaku di sini
- “Mata Elang, bawakan aku setangkai puisimu!”
7
Apakah artinya semua ketibaan
dibandingkan kehadiranmu
malam ini?
Lihat, kemeja hitammu
dihinggapi serangga malam
yang riuh mengantarmu setengah
berlari menuju rinduku.
:”Perempuan mata hujan, aku akan selalu ada untukmu.”
8
Angin yang bersijingkat
merintih di depan Mahatta
Kau aku menggigil kala menanggalkan
lara di pembaringan itu
waktu henti
kita pun saling menyentuh
dan menemukan kunang-kunang bertebaran
dalam tubuhku tubuhmu
9
Tiba di paragraf akhir pertemuan
perempuan itu menulis tergugu
Seseorang telah ditakdirkan
untuk selalu kembali ke
taman hening betapa pun jauh
ia berlari dan menghindari
(Depok, 2008)
DURI
“Sekali aku mencintai, maka itu tak akan selesai,” katamu
suatu ketika.
Tetapi hari itu kamu membanting kaca jendela kenangan kita
hingga pecah berhamburan
Serpihannya masuk ke mata dan batinku
menjadi duriduri yang menancap abadi
Aku buta, nir rasa
bahkan tak ingat pada suatu masa
aku pernah mengenalmu.
(Rawamangun, 2011)
KITA HANYA PERLU TERUS MENUNGGU
Ada yang tinggal setelah pertemuan pertama kita;
nama, wajah dan jejakmu menjelma rindu
yang kian rimbun dan liar.
Setiap pagi dan petang kuhirup rindu itu
dalam teh dan kopi beraroma tubuhmu,
menanti perjumpaan kedua
tapi kau tak pernah tiba di sini,
Musim tak mampu gugurkan kenangan tentangmu,
seperti kematian yang tak akan pernah bisa
memisahkan cinta.
Kita hanya perlu terus menunggu
dari jarak terjauh
yang tak pernah bisa kita kira
sambil mencumbu doadoa
Kita hanya perlu terus menunggu
(18 April 2014)