10 PUISI HELVY TIANA ROSA PALING ROMANTIS TENTANG PERPISAHAN

WhatsApp Image 2020-07-05 at 20.33.51 (2)

SAJAK FEBRUARI

1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu

2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini

4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar

engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi

7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini

9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan

Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah

10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu

11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta
dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

(Depok, 1995)

 

 

YANG BERDANSA DI KERUDUNG

 

Aku kangen

berenang di matamu

menatap cuaca dan cakrawala

dari wajahmu

tapi kini samar bayangmu

pupus dalam mangkuk-mangkuk

sajakku yang retak

 

Huruf huruf pun gelisah

berdansa di kerudungku

musim silih berganti

memproduksi kenangan

yang diam-diam mengungsi

ke jantung puisi

 

(2013)

 

 

BEGITULAH KISAH KITA MENUTUP MATA UNTUK SELAMA LAMANYA

 

Aku akan bergegas meninggalkanmu,

semua jejak, bayangan, dan gurat kenangan itu

Tak akan ada pintu, jendela atau satu celah pun

untuk kembali.

 

Kita mungkin hanya akan melihat

satu sama lain dari jauh

sambil menyeduh secangkir kopi

berisi mimpi masing masing

 

Jalan kita adalah simpang empat

yang terlalu ramai oleh harapan

dan ucapan terimakasih

“Kau terlalu baik,” katamu.

Tapi kau berpura tak tahu,

bahwa cinta selalu menjadi pembuka

bagi semua jalan kebaikan

yang terjal dan mendaki itu

 

Di pelupuk mataku, seorang gadis,

bergelayut manja padamu

sambil melambai lambaikan hatinya

yang berwarna warni

 

Malam yang bimbang,

berhenti mencumbu purnama

Di baris baris kidungmu, rindu tersengal sengal

diterjang kenyataan,

lari tertatih tatih, terkapar

dan bersembunyi

di halaman halaman novel,

cerpen dan puisi

 

Begitulah kisah kita menutup mata

untuk selama lamanya.

 

(Depok, 18 Agustus 2016)

 

 

LOVE OF MY LIFE, LAGU ITU

 

Love of My Life lagu itu,

daun daun kenangan gugur

pada musim yang  lebam

dan terus membiru

Sebongkah puisiku larut

dalam secangkir teh tawar hangat

yang kau teguk

hingga ke poripori waktu

 

Love of My Life lagu itu

“Aku menemukanmu,” bisikku.

Senja yang rapuh tergugu

membelai lariklarikku yang kaku

Kau tahu,

sejauh dan sedalam apa mencinta,

aku hanyalah nama

yang tak pernah sampai

di almanakmu

 

Love of My Life lagu itu

“Jangan menangis,” katamu

“Kita akan selalu bersama.”

Tapi aku tahu

aku telah kehilanganmu

selamanya,

tepat di saat kita

pertama bertemu

 

( Jakarta, 18 November 2015)

 

 

HUJAN BERPUISI

Hujan berpuisi, gigilnya menembus

belulangmu hingga sumsum

Ia tergugu di pelataran sendu,

mencipta bayang dari genang

yang tak lagi memberi asa

dan kemungkinan

Rintihnya memerihkan hari,

jeritnya menyayat-nyayat sunyi

 

Hujan belum berhenti berpuisi,

pilu mencari rinai rasa yang dulu

Ia beri kunci ajaib

untuk membuka laci laci memori;

aku yang sekarat bersimbah puisi,

dan kau yang tak pernah peduli.

(2013)

 

 

CINTA

 

Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi

Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati

Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin

Kau menempel di buku-buku, di televisi,

di gedung-gedung dan panggung pertunjukan,

juga pada angin dan debu pada napasku

Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak yang kau tinggalkan

seperti pemburu yang saru

 

Panggil aku cinta

Bukan, aku bukan wanita khayalanmu

Aku yang mendambamu hingga ke paling lembah

Apakah kau percaya pada ada dan tiada

Sebab aku mungkin ada, sebab aku mungkin hanya tiada

Sepotong diam yang tak henti mencinta

hingga penghujung senja

 

(Kemayoran, 1988)

 

 

 

DI JURANG PUISI

I

Menampung rindu

dari hari ke haru,

Menanggung resah yang berlarian

hingga jantung,

Jarum jarum hujan

menikam mata kita

Katamu tak apa

Karena duka cuma

museum kebahagiaan

yang retak dan pecah di dada kita

II

kita pun saling meninggalkan

menanggalkan semua kenangan

yang hinggap

dan meleleh di dahi musim

sejak saat itu kutemukan diriku

yang beku, terperangkap dalam kulkas

berisi puluhan kilogram

puisi puisi setengah jadi

III

tanpa peta aku kembali ke sini:

jalan raya yang terbuat dari parasmu

Katakata canggung, waktu gugu

Bagaimana kau menerjemahkan kekosongan?

IV

Ini malam tak ada jejak

yang membaca cinta.

rindu siapa nganga

di jurang puisi?

 

(Februari 2013)

 

 

VIDIARA

1

Aku mengira cinta adalah
samudera pengorbanan tanpa tepi
kesetiaan yang semakin menjadi
dan ketika cintanya
terdefinisi sebagai ilalang patah
waktunya bagiku untuk mengapung
dalam realitas imaji
dan lebur
di kedalaman laut
matamu

2

Inilah taman hening

Tempat merakit realita.

Realita?
Aku meragukan realitaku sendiri

Yang mana realitas itu sebenarnya?
Mungkin bagiku
mimpi dan fiksi
itulah realita sejati
sedang hidup yang kata mereka kujalani
hanyalah mimpi, cerpen, bahkan novel
yang belum selesai

Dan tercabik tiga kali cukuplah bagiku
setelah tak terhingga kali

terus berusaha mencinta
dan menangkan cintanya

Kini aku hanya mampu
menjaga cahaya mataku
agar ia tetap ada
di sana

3

Aku sudah pernah bicara
pada semua yang berwarna
dan tidak berwarna
pada semua yang bernama
dan tidak bernama
pembicaraan kami dirahasiakan
angin
tapi mereka tahu
luka akan memecahkan jiwa
dari tubuhku

yang menciptakan tubuhmu.

4

Malam ini taman hening
penuh cahaya biru dan ungu
Vidiara bisu

Sesungguhnya aku telah
mendapat kekuatan
mungkin bernama engkau
dan airmata

5

Singgahlah sejenak

Air minum untukmu
kuambilkan dari sungai samara
yang mengalir melintasi Vidiara
Sungai itu menjanjikan air jernih
sepanjang masa,
cukup dengan ramuan
dari kristal airmataku

Musik atau tembang apa
yang kau pinta?
Aku tinggal berbisik
pada Vidiara
ia akan meliuk,
menari
dan angin pun mendesaukan
nada-nada itu
bersama kunang-kunang

6

Setiap malam kusiapkan hal berbeda
untuk menawanmu di sini
Kau tahu, tengah kusiapkan
makan malam di atas
sebuah perahu
yang akan membawa kita
melintasi jalur samara
yang hening bening
tak perlu lampu atau lilin
karena seribu bintang, seribu kunangkunang
akan menemani
jangan bawakan aku bunga,
sebab semua bunga tunduk padaku di sini
“Mata Elang, bawakan aku setangkai puisimu!”

7

Apakah artinya semua ketibaan
dibandingkan kehadiranmu
malam ini?
Lihat, kemeja hitammu
dihinggapi serangga malam
yang riuh mengantarmu setengah

berlari menuju rinduku.

:”Perempuan mata hujan, aku akan selalu ada untukmu.”

8

Angin yang bersijingkat

merintih di depan Mahatta

Kau aku menggigil kala menanggalkan

lara di pembaringan itu

waktu henti

kita pun saling menyentuh

dan menemukan kunang-kunang bertebaran

dalam tubuhku tubuhmu

9

Tiba di paragraf akhir pertemuan

perempuan itu menulis tergugu

Seseorang telah ditakdirkan
untuk selalu kembali ke
taman hening betapa pun jauh
ia berlari dan menghindari

 

(Depok, 2008)

 

DURI

Sekali aku mencintai, maka itu tak akan selesai,” katamu

suatu ketika.

Tetapi hari itu kamu membanting kaca jendela kenangan kita

hingga pecah berhamburan

Serpihannya masuk ke mata dan batinku

menjadi duriduri yang menancap abadi

 

Aku buta, nir rasa

bahkan tak ingat pada suatu masa

aku pernah mengenalmu.

 

(Rawamangun, 2011)

 

 

KITA HANYA PERLU TERUS MENUNGGU

 

Ada yang tinggal setelah pertemuan pertama kita;

nama, wajah dan jejakmu menjelma rindu

yang kian rimbun dan liar.

 

Setiap pagi dan petang kuhirup rindu itu

dalam teh dan kopi beraroma tubuhmu,

menanti perjumpaan kedua

tapi kau tak pernah tiba di sini,

 

Musim tak mampu gugurkan kenangan tentangmu,

seperti kematian yang tak akan pernah bisa

memisahkan cinta.

 

Kita hanya perlu terus menunggu

dari jarak terjauh

yang tak pernah bisa kita kira

sambil mencumbu doadoa

 

Kita hanya perlu terus menunggu

 

(18 April 2014)

 

Leave a comment

Filed under Karya, Lainlain, Puisi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s