Aku melangkah gontai melewati gerbang sekolah. Sejak pelajaran pertama hingga bel pelajaran terakhir berbunyi, pikiranku telah mengembara kemana-mana, hingga akhirnya tiba di satu titik: Ibu.
“Ibu sudah tua, Din. Sebentar lagi umurnya 76 tahun. Ibu sudah mulai pikun, sakit-sakitan. Aku ingin yang terbaik buat Ibu, Din!” Suara Kak Dita terngiang terus di kupingku.
“Yang terbaik? Untuk Ibu? Dengan membuangnya di panti jompo? Itukah yang terbaik?” jawabku waktu itu.