Saya tulis kekaguman saya pada Ibunda Khoiriyah Hasyim secara mendadak, saat saya diminta tampil baca puisi di Malam Kebudayaan Pesantren di Yogyakarta, 10 Oktober 2018 lalu.
KEPADA KIAI PUTRI
(Helvy Tiana Rosa)
Apa yang harus kukisahkan tentangmu, Khoiriyah?
Jejakmu begitu dalam, menyala di tanah ini
dan aroma namamu adalah kesturi
tumbuhnya pesantren di berbagai penjuru negeri
Apa yang harus kukisahkan tentangmu, Khoiriyah?
Putri yang merekah mawar dari tangan Hadratus Syaikh
Ia ajari engkau segala dengan cinta
Aqidah, ilmu, ahlak adalah cahaya yang merona di pipimu
ketika suatu hari Kiai Maksum Ali datang meminang
di usiamu yang ke 13
Apa yang harus kukisahkan tentangmu, Khoiriyah?
Perempuan pendobrak kejumudan kami
yang tegar ditinggal suami selamanya, saat usiamu 27 tahun
Dan saat kau menikah lagi dengan Kiai Muhaimin
kau kembali ditinggal ke keabadian di usia 40 tahun
Tapi tak ada yang pernah menyurutkan langkahmu menebar maslahat
juga saat satu persatu dari sembilan buah hatimu
dipanggil ke haribaanNya
Ujian apa yang tak bisa kau lalui Khairiyah?
Pondok-pondok itu merindukan nyai sejatinya
Penjajah gentar pada ketegasanmu di sabilillah
Feminisme? Hanya wacana sekadar, tapi bagimu perempuan sejati
adalah yang paling teguh di jalanNya
“Saatnya kita mengubah penampilan,” katamu sambil menjahit
kerudung rubu’ yang kami pakai hingga hari ini
Engkau yang contohkan santriwati gunakan celana panjang
menyiasati betis, di balik kain jarik, yang terlihat saat baris berbaris
Kau beri semua honor ceramahmu
untuk memperbaiki kamar mandi tetanggamu
Engkau yang menguji bacaan alfatihah
para calon imam sholat jumat di pesantrenmu,
dan tak semua mampu lulus dari kejelianmu
Kaulah pena berjalan itu, menulis cahaya di berbagai media
Perempuan pertama dalam jajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama
yang siaga berargumen dengan para kiai,
membahas masalah-masalah maudluiyah dan waqi’iyah.
Kecerlangan yang membuat Kiai Yusuf Hasyim
tak lagi menjulukimu Nyai
Tapi Kiai Putri
Apa yang tak pernah mereka dengar darimu, Khoiriyah?
Wanita ulama pertama di dunia
yang membangun madrasah khusus perempuan–al banat di Mekkah
meski harus berjam-jam berdebat dengan para mufti di sana
sampai Soekarno memintamu kembali ke Indonesia senja itu
untuk turut membangun negeri dari pondok pondok pesantren
“Perempuan itu tiang utama penyangga negara.
Adalah pemahat peradaban
yang melahirkan dan mendidik anak-anak
hingga menjadi bangsa bangsa!
Dan pesantren adalah gerbang kedamaian, pilar kearifan
benteng terakhir pertahanan negeri kita!”
Kau tak pernah berubah, Kiai Putri
berbagi tanpa harap apa
hanya ridha Illahi Rabbi.
Apa lagi yang harus kukisahkan tentangmu?
Jejakmu begitu dalam, menyala di tanah ini
dan aroma namamu adalah kesturi
tumbuhnya pesantren di berbagai penjuru negeri
Wahai Putri Hadratussyaikh
Cintamu lebih panjang dari nama dan usia
terbentang dari Jombang hingga Mekkah.
Cahaya peradaban
yang tak pernah bisa dibungkam masa
( Senja di Yogyakarta, 10 Oktober 2018)