Aku ingin menjadi istrimu, tulis gadis itu.
Kulipat kembali surat itu. Surat yang telah kusam karena telah terlalu sering kubaca. Bahkan aku masih hafal semua kalimat dalam kertas biru itu. Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila terkesan aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi menjadi suami? Maka, Agam, sudikah?
Tag Archives: Cerpen
Cut Vi
Pertemuan di Taman Hening
Tamparan berkali-kali dari lelaki itu membuat tubuh Sih terhuyung-huyung. Perempuan itu jatuh terduduk di sudut kamar, setelah pelipisnya terbentur ujung lemari kayu yang lancip. Darah menetes dari sana, juga dari bibirnya yang seakan pecah.
Lelaki Kabut dan Boneka
Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari, rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang diciptanya sendiri.
“Siapakah… lelaki… itu? Di… di… mana… dia?”
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dengan tubuh meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan musim dingin. Ya, mereka merasakan keberadaannya, tetapi mereka tak yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa ia sungguh ada.
Hingga Batu Bicara
Biarkan aku!” seru gadis itu sekali lagi sambil menatapku tajam.
Aku memandangnya lama, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini ketiga kalinya ia berada di tempat ini. Melakukan hal yang sangat tidak wajar. Ia bicara pada batu-batu! Ya, pada batu! Ia bisa tampak serius, lalu tiba-tiba tertawa atau menangis sendiri. Ia membelai batu-batu. Menggendongnya seperti menggendong bayi, memasukkan batu-batu tersebut ke dalam tas kainnya yang kusam.
Juragan Haji

Naik haji lagi?” Mata tua Mak Siti berbinar, sesaat menerawang. “Jadi sudah tiga kali ya, Bu Juragan?” klik selanjutnya
Idis
Begitu senja. Jalan setapak di batas Batu Licin yang sejak tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan daun-daun melambai berharap mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi langkahku yang entah ke mana ini.
klik selanjutnya
Jaring-Jaring Merah
Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.


